Sabtu, 18 Juni 2011

Pendidikan Dalam Analisis Teori Struktural-Fungsional (Sosiologi)

         PENDIDIKAN DALAM ANALISIS TEORI STRUKTURAL-FUNGSIONAL
Oleh; Abu Bakar

  1. PENDAHULUAN
Fenomena perubahan sosial kehidupan masyarakat cukup kompleks. Fenomena sosial yang ada seringkali mengacu pada adanya indikasi-indikasi yang rentan sekali melahirkan perbedaan dan bahkan  perselisihan dalam hal persepsi dan interpretasi. Hal ini dikarenakan persoalan kemanusiaan sangat erat hubungannya dengan perubahan dan perkembangan sosial.
Manusia senantiasa membutuhkan satu sama lain untuk kelangsungan hidup dan mempertahankan predikatnya sebagai manusia. Wujud dari itu akan melahirkan ketergantungan yang pada akhirnya mendatangkan sebuah bentuk kerjasama, berlangsung dalam rentang waktu yang tak terbatas. Dari interaksi-interaksi tersebut pada akhirnya akan melahirkan sebuah bentuk masyarakat yang beraneka ragam, baik dari segi struktur, politik maupun sosialnya. Ini adalah sebuah keniscayaan, karena sejak kehadirannya, mereka telah dianugerahi  gelar sebagai makhluk social.
Dalam kerangka premis tersebut, berbagai usaha telah dilakukan, bahkan ada sebagian yang terkesan berlebihan dalam mengkaji dan mengadakan penelitian social. Akan tetapi, sejalan dengan perkembangan waktu, sampai saat ini belum selesai perjalanan menemukan sebuah teori kehidupan sosial yang mapan dan jitu, kendati telah banyak teori yang kita telah pelajari.
Berangkat dari asumsi diatas, penulis mencoba memberikan informasi melalaui bahasan berikut yang akan menganalisis tentang teori struktural fungsional dan mencoba mengangkat sisi pendidikan dari teori tersebut.


B.     PEMBAHASAN

1.      Sejarah Singkat Teori Sturktural Fungsional
Pasca  perang  dunia  II Struktural   fungsionalisme   memegang   peranan  penting  dalam perkembangan ilmu sosiologi, tetapi setelah beberapa dekade sesudahnya faham ini “kehilangan giginya” dan hanya dianggap sebagai tradisi teoritis (Colomy,1990). Namun tidak dapat dipungkiri juga bahwa faham ini berperan penting dalam kelahiran neofungsionalisme, sebagai contoh gerakan menuju analisis sintesis dalam teori sosiologi. Selama beberapa tahun, alternatif utama untuk structural fungsionalisme ialah teori konflik. Menurut Thomas Bernard (1983) fungsionalisme struktural memiliki domain di teori Konsensus.[1]

2.      Konsep Teori Struktural fungsional 
Istilah teori Struktural fungsional dikenal juga dengan teori fungsionalisme dan fungsionalisme struktural.[2] Istilah Struktural Fungsional dalam teorinya menekankan pada keteraturan (orde). Dalam teori ini, masyarakat dipandang sebagai suatu system social (social system) yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan. Teori ini mempunyai asumsi bahwa setiap tatanan (struktur) dalam sistem sosial akan berfungsi pada yang lain, sehingga bila fungsional yang tidak ada, maka struktur itu tidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinya. Semua tatanan adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Dalam arti demikian, maka teori ini cenderung memusatkan kajiannya pada fungsi dari suatu fakta sosial (social fact) terhadap fakta sosial lain.
            Dari ulasan diatas, jelas bahwa teori struktural fungsional berpandangan terhadap segala pranata sosial yang ada dalam masyarakat serba fungsional, baik yang dinilai positif maupun negatif.  Misalkan kasus kemiskinan, adalah gejala sosial dalam suatu sistem sosial  yang fungsional bagi si kaya, karena dengan si miskin mereka dapat memanfaatkan tenaganya.
            Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa teori struktural fungsional mempunyai premis sebagai berikut:
·         Masyarakat adalah suatu system yang secara keseluruhan terdiri dari bagian-bagian yang saling tergantung. Keseluruhan system yang utuh menentukan bagian-bagian. Artinya, bagian yang satu tidak dipahami secara parsial dan terpisah kecuali dengan mempertahankan hubungan dengan system keseluruhan yang lebih luas.
·         Bagian-bagian harus dipahami dalam kaitannya dengan fungsinya terhadap keseimbangan sistem keseluruhan, sehingga bagian-bagian tersebut menunjukkan gejala saling tergantung dan saling mendukung untuk memelihara keutuhan system.
·         Tiap-tiap masyarakat merupakan struktur yang terdiri dari unsur-unsur yang relatif kuat dan mantap, berintegrasi satu sama lain dengan baik. Orang lebih banyak bekerja sama dari pada menentang, biarpun telah terjadi pergantian dari pemerintah yang lama ke yang baru.
·         Tiap-tiap masyarakat mempunyai fungsi dalam rangka mewujudkan ketahanan dan kelestarian sistem. Hal ini karena dilatarbelakangi oleh suatu kesesuaian faham (consensus) diantara anggotanya mengenai nilai-nilai tertentu.[3]
            Comte berpendapat bahwa sosiologi adalah studi tentang strata sosial (struktur) dan dinamika sosial (proses/fungsi). Didalam membahas struktur masyarakat disebutkan bahwa masyarakat adalah organisme hidup.[4]
Lebih jauh penulis memaparkan tokoh-tokoh fungsionalisme klasik dan tokoh-tokoh fungsionalisme modern yang diantaranya sebagai berikut:
a.      Tokoh Fungsionalisme Klasik
Dahrendorf  mengemukakan bahwa teori fungsionalisme sebagai berikut: (1) setiap masyakarat merupakan suatu struktur unsur yang relatif gigih dan stabil, (2) mempunyai struktur unsur yang terintegrasi dengan baik, (3) setiap unsur dalam masyarakat mempunyai fungsi, memberikan sumbangan pada terpeliharanya masyarakat sebagai suatu sistem; dan (4) setiap struktur sosial yang berfungsi didasarkan pada konsensus mengenai nilai dikalangan para anggotanya.
Auguste Comte. Teori yang dikenal dengan berbgai nama seperti teori struktur-fungsi, fungsionalisme, dan fungsionalisme struktural merupakan teori yang tertua dan hingga kini paling luas pengaruhnya. Tokoh awal teori ini ialah “bapak sosialogi” Auguste Comte. Sumbangan utama Comte bagi sosiologi adalah pembagian antara statika sosial dan dinamika sosial dan organisisme menampilkan kesalingterkaitan yang erat.
b.      Tokoh Fungsionalisme Modern
Talcott Parsons. Merupakan tokoh sosiologi modern yang mengembangkan analisis Fungsional dan sangat rinci menggunakannya dalam karnya-karyanya. Karya pertamanya yang memakai analisis fungsional adalah buku The Social System (1951). Dalam karya berikutnya Parsons secara rinci menguraikan fungsi berbagai struktur bagi dipertahankannya sistem sosial.
Karya pandangan Parsons yang terkenal ialah kajiannya mengenai fungsi struktur bagi dipecahkannya empat masalah : adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, pemeliharaan pola, dan pengendalian ketegangan.[5]

3.      Pendidikan Dalam Teori Struktural Fungsional
Sebagaimana telah dijelaskan diawal makalah, bahwa teori struktural fungsional tidak bisa terpisahkan. Stratifikasi yang ada dalam masyarakat mempunyai peran atau fungsi. Ekstrimisme toeri ini adalah mendarah dagingnya asumsi bahwa semua even dalam tatanan adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Berbicara tentang masyarakat maka hal tersebut tidak bisa dipisahkan dengan “integrasi” (satu kesatuan yang utuh, padu)[6] seperti dikemukakan Parson, yang berarti bahwa struktur dalam masyarakat mempunyai keterkaitan atau hubungan satu dengan yang lain. Pendidikan khususnya, tidak bisa dipisahkan dari struktur yang terbentuk dalam masyarakat. Kita tidak bisa pungkiri bahwa terbentuknya stratifikasi dalam masyarakat salah satunya dibentuk oleh pendidikan itu sendiri. Demikian sebaliknya Durkheim(1858-1917) berpendapat bahwa masyarakat secara keseluruhan dan lingkungannya akan menentukan tipe-tipe pendidikan yang diselenggarakan. Demikian pula, pendidikan merupakan alat untuk mengembangkan kesadaran diri sendiri dan kesadaran sosial.[7]
Fungsionalisme Struktural tidak hanya berlandaskan pada asumsi-asumsi tertentu tentang keteraturan masyarakat, tetapi juga memantulkan asumsi-asumsi tertentu tantang hakikat manusia. Didalam fungsionalisme, manusia diperlakukan sebagai abstraksi yang menduduki status dan peranan yang membentuk lembaga-lembaga atau struktur-struktur sosial. Didalam perwujudannya yang ekstrim, fungsionalisme struktural secara implisit memperlakukan manusia sebagai pelaku yang memainkan ketentuan-ketentuan yang telah dirancang sebelumnya, sesuai dengan norma-norma atau aturan-aturan masyarakat. Didalam tradisi pemikiran Durkheim untuk menghindari reduksionisme (fenomena alamiah yang diciutkan dalam suatu hal yang lebih kecil)[8] psikologis, para anggota masyarakat dipandang sebagai hasil yang ditentukan oleh norma-norma dan lembaga-lembaga yang memelihara norma-norma itu.[9]
Parsons melihat masyarakat adalah sistem sosial yang dilihat secara total. Bilamana sistem sosial sebagai sebuah sistem parsial, maka masyarakat itu dapat berupa setiap jumlah dari sekian banyak sistem yang kecil-kecil, misalnya keluarga, sistem pendidikan, dan lembaga-lembaga keagamaan.
Kita dapat menghubungkan individu dengan sistem sosial dan menganalisanya melalui konsep status (struktur) dan peranan (fungsi). Status adalah kedudukan dalam sistem sosial,  seperti guru, ibu , atau presiden, dan peranan adalah perilaku yang diharapkan atau perilaku normatif yang melekat pada status guru, ibu, atau presiden itu. Dengan kata lain dalam sistem sosial, individu menduduki suatu tempat (status), dan bertindak (peranan) sesuai dengan norma atau aturan-aturan yang dibuat oleh sistem. Misalnya, status sebagai seorang suami mengandung peranan normatif yakni mencari nafkah yang baik. Peranan sebagai suami adalah statusnya sebagai suami dari istri.[10]
Ilustrasi diatas mengisyaratkan betapa urgensinya status (sturktur) sebagai seorang suami dan peranannya (fungsi) terhadap istri. Dalam status dan perananan tersebut disamping sebagai tanggungjawab suami namun sinyalement pendidikan senantiasa terlihat didalam peranan-peranan tersebut. Bagaimana misalnya fungsi seorang suami mendidik istri dan anak-anaknya selalu membangun integritas (keutuhan) sebuah keluarga dan bagaimana seorang suami menjadi sosok panutan baik secara langsung ataupun tidak langsung dan  menjadi teladan bagi istri dan anak-anaknya.
Œ  Pendidikan dalam peranan masyarakat dapat dilihat pada ketentuan   berikut;
a.       Bagaimana seharusnya melangkah dan bertindak sebagai seorang yang mengemban tugas dan pemeran sehubungan dengan beberapa kemungkinan, prestise atau kepemimpinannya;
b.      Bagaimana ia berbuat sebagai seorang anggota suatu bagian dari status kelembagaan dan perkumpulan-perkumpulan.
Peranan-peranan anggota masyarakat yang demikian akan membatasi peranan (fungsi): sebagai  penduduk, konsumen, anggota militer, usahawan, pembentuk serikat sekerja, dan sebagai orang tua. Kesemuanya sangat bermamfaat dalam pengendalian masyarakat, masing-masing akan mengetahui batas-batas kewenangannya, sehingga dalam kehidupan bermasyarakat tidak terjadi benturan-benturan antara peranan yang satu dengan peranan yang lainnya.
  Pendidikan dalam peranan-peranan kelompok
Suatu kelompok dan peranan yang ada, agar dapat memuaskan atau memenuhi seseorang, tentunya akan membiasakan kepentingan-kepentingan, kebutuhan-kebutuhan atau mendekatkan harapan-harapan pada para anggotanya. Hal ini dapat menjadikan suatu klik, asosiasi, kelas atau strata (lapisan/sturktur) masyarakat, suku atau golongan kedaerahan, kasta, dan lain-lain sejenisnya dalam lingkungan masyarakat. Kelompok-kelompok sosial seperti ini dalam menciptakan suatu lingkungan masyarakat yang stabil, lancar, dan tertib, para pemimpin dan masing-masing anggotanya darus dapat bertindak memainkan peranan-peranan antara lain:
a)      Memainkan peranan kelompok sepenuhnya dalam kelompok masing-masing, tanpa kehendak untuk memaksakan peranan-peranan itu kepada para anggota kelompok lainnya;
b)      Dapat memainkan peran kelompoknya bersama-sama kelompok lain, apabila diantara kelompok-kelompok itu telah terjadi kesepakatan bersama atau penyilangan kultur, biasanya dalam rangka penggabungan menjadi kelompok besar yang menghendaki perkembangan;
c)      Sama sekali membatasi peranan-peranan kelompoknya dan menyusuaikan dengan pernanan sosial dalam mengadakan interelasi atau hubungan-hubungan antar kelompok dalam lingkungan masyarakat, mencegah benturan-benturan dengan cara lebih menghargai atau menghormati peranan sosial.
Ž  Pendidikan dalam status kelompok dalam struktur sosial
Dalam status kelompok-kelompok masyarakat, struktur masyarakatnya cenderung untuk membentuk tiga kelompok yang lebih besar ditinjau dari persilangan-persilangan yang terjadi, yaitu;
(a)                Kesukuan--------kedaerahan,
(b)               Kelas sosial------strata (struktur/lapisan) masyarakat,
(c)                Status pekerjaan--------jenjang jabatan dalam bagian masyarakat.
Dalam suatu masyarakat kerap hidup beberapa suku, karena masing-masing merasakan adanya ikatan kebudayaan dan geografis atau kebudayaan yang mirip yang berlaku secara turun temurun serta para anggotanya dilahirkan, dikembangkan dan bertahan dalam kelangsungan hidupnya (viabilitas) persilangan-persilangan yang terjadi akan mewujudkan rasa kedaerahan. Demikian pula kelas-kelas sosial karena merasakan adanya keterikatan (kesamaan jenjang, gerakan, tuntutan dan tujuan), mereka akan mengadakan persilangan antara masing-masing kelas dan terwujudlah segmentasi atau pembentukan bagian yang lebih besar, dalam hal ini berbentuk lapisan masyakat. Lapisan masyarakat (strata) banyak berpengaruh pula dalam kelansungan hidup masyarakat. 
Orang-orang dalam mempertahankan hidupnya dalam masyarakat haruslah bekerja. Adanya interelasi antara mereka yang mempunyai status pekerjaan yang sama atau mirip akan terjadi pertukaran pendapat, pengalaman, pikiran dan gagasan. Persilangan-persilangan status pekerja/pekerjaan akan melahirkan jenjang pekerjaan yang lebih besar dalam masyarakat.[11]
  Pendidikan Terintegrasi dalam Fungsi-fungsi Lembaga dalam Masyarakat
Adalah tak perlu diperkirakan bahwa suatu lembaga hanya menyelenggarakan satu fungsi. Kita perhatikan sekarang yang sederhana saja, seperti keluarga;
a.       Memperhatikan anak-anaknya,
b.      Para anggota keluarga satu dan lainnya saling membantu dan memberikan rasa kasih sayang serta perlindungan bersama,
c.       Menyelenggarakan fungsi-fungsi ekonomi serta membawasertakan pada upacara keagamaan dan anggota keluarganya (ayah-ibu-kakak) sering bertindak sebagai pengganti guru dirumah,
d.      Menyehatkan anak-anak, memberi gizi dan obat-obatan dan pelayanan-pelayanan sosial lainnya.
Lembaga-lembaga itupun mempunyai fungsi-fungsi lainnya yang tidak jauh berbeda dengan fungsi-fungsi keluarga terhadap para anggotanya. Dalam lembaga, fungsi-fungsi itu dipisah-pisah-dibagi-bagi. Tidak dapat diperkirakan bahwa suatu fungsi sosial tertentu diselenggarakan secara eksklusif oleh suatu lembaga. Jika kita memahami pendidikan dengan seluruh kegiatan-kegiatannya, dimana anak-anak belajar dan dipelajari teknik-teknik, kebiasaan-kebiasaan serta perasaan-perasaan pada masyarakat dimana mereka hidup, adalah nyata bahwa sekolah tidak melakukan monopoli atas pendidikan.[12]
Yang dimaksud dengan pendidikan dalam lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat umumnya adalah bagaimana lembaga itu memberikan keteladanan, profesionalisme, jauh dari kolusi-korupsi-nepotisme (KKN) serta mejalankan birokrasi sesuai prosedur dan proporsional. Fungsionaris yang ada pada lembaga-lembaga tersebut menjalankan fungsinya sesuai dengan aturan perundang-undangan yang ada sehingga akan melahirkan strukturisasi dan fungsionaris yang istiqamah serta citra lembaga sebagai institusi yang intelek dan berakhlak.
  Penerapan Teori Struktural-Fungsional dalam Pendidikan di Sekolah
Dalam buku Manajemen Pendidikan Mutu berbasis Sekolah yang dikeluarkan oleh Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Dirjen Dikdasmen, Depdiknas (1999:6-7) diungkapkan beberapa indikator yang menjadi karesteristik dari konsep MPBS sekaligus mereflaksikan peran dan tanggung jawab masing-masing pihak antara lain; (1) lingkungan sekolah yang aman dan tertib, (2) sekolah memiliki misi dan target mutu yang ingin dicapai, (3) sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat, (4) adanya harapan yang tinggi dari personil sekolah (kepala sekolah, guru, dan staf lainnya, termasuk siswa) untuk berprestasi, (5) adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK, (6) adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademik dan administrative, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan dan atau perbaikan mutu, (7) adanya komunikasi dan dukungan insentif dar orang tua siswa dan masyarakat lainnya.[13]
Oleh karenanya penulis dapat menyimpulkan bahwa praktek teori struktural-fungsional yang mengedepankan integrasi, maka tanggung jawab dan peran masing-masing pihak harus selalu menjadi prioritas dalam rangka membangun intergrasi solid di sekolah terutama yang erat kaitannya dengan peningkatan mutu pendidikan .
            Anilisis SWOT (Strengths-Weakness-Opportunities-Threats) merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk membantu sekolah mengungkapkan dan mengidentifikasi permasalahan. Pentingnya analisis SWOT dilakukan agar dapat diketahui kekuatan dan kelemahan yang melekat dlam lingkungan internal system itu sendiri, serta peluang dan tantangan yang dating dari lingkungan eksternal system tersebut. Berbagai hasil studi empirik menunjukkan bahwa suatu manajemen itu akan berhasil jika mampu mengoptimalkan pemberdayaan dan pemanfaatan kekuatan dan peluang yang dimilikinya serta mampu meminimalkan intensitas pengaruh factor kelemahan dan hambatan disertai upaya untuk memperbaiki atau mengatasinya (syamsuddin, 2000:5).[14]
Dalam makalah ini, penulis perlu menjelaskan juga bahwa untuk membahas lebih rinci sejauh mana sosiologi mambahas tentang kependidikan dan begitu juga sebaliknya, maka dalam makalah ini kami sedikit akan memberikan informasi mengenai pendidikan dalam sosiologi. Namun ruang lingkup bahasannya terbatas pada lembaga pendidikan itu sendiri.
Menurut Stalcup:
1.      Educational sociology; yakni merupakan aplikasi prinsip-prinsip umum dan penemuan-penemuan sosiologi bagi pengadministrasian dan/atau proses pendidikan. Pendekatan ini berupaya untuk menerapkan prinsip-prinsip sosiologi pada lembaga pendidikan sebagai suatu unit sosial tersendiri.
2.      Sociology educational, merupakan analisis terhadap proses-proses sosiologi yang berlangsung dalam lembaga pendidikan. Takanan dan wilayah telaahnya pada lembaga pendidikan itu sendiri.
Berikut defenisi sosiologi pendidikan menurut pakar sosilogi;
a.       Fairchild, sosiologi pendidikan adalah sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental.
b.      Robbins, sosiologi pendidikan adalah sosiologi khusus yang tugasnya menyelidiki stuktur dan dinamika proses pendidikan.
c.       Ellwood, sosiologi pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari/menuju untuk melahirkan maksud hubungan-hubungan antara semua pokok-pokok masalah antara proses pendidikan dan proses sosial.[15]
Defenisi diatas menurut analisis penulis mengisyaratkan adanya kajian khusus yang lebih spesifik untuk mengangkat isu-isu sosial dalam pendidikan atau sebaliknya. Lembaga sekolah misalnya, sebagai struktur sekolah berperan menciptakan hubungan dengan lembaga-lembaga lain yang ada didalam masyarakat sehingga melahirkan integrasi yang solid. Ketika terjadi masalah sosial yang melibatkan fungsionaris yang ada pada lembaga sekolah maka akan dengan mudah diselesaikan. Contoh kasus, misalnya seorang siswa melanggar peraturan lalu lintas (tidak memakai helm dan tanpa SIM), maka lembaga kepolisian yang berwenang akan memberikan sanksi berat dengan “tilang”  yakni hukuman dengan mengharuskan siswa membuat “SIM” yang tentunya dengan biaya mahal. Dengan hubungan komunikasi dan kerjasama yang baik maka biaya yang mesti dibayar mahal menjadi agak terjangkau dengan terjalinnya hubungan antara lembaga-lembaga tersebut.





  1. SIMPULAN
Teori Struktural fungsional adalah teori yang membahas tentang stratifikasi dan peranan (fungsi) yang ada didalam masyarakat. Teori ini menjelaskan bagaimana struktur yang ada itu berinteraksi dan berfungsi sesuai dengan peranan masing-masing lembaga tersebut dengan mengedepankan integrasi, Sehigga jika terjadi konflik sosial maka akan dengan mudah diselesaikan.
Pendidikan dalam teori ini bisa dilihat pada penjelasan singkat ini, bahwa setiap sturkturisasi jika berfungsi sesuai dengan stratifikasi yang diperankan maka akan membentuk lembaga-lembaga yang paradigmatis untuk  mendidik masyarakat istiqama dan menjadi panutan. Artinya, fungionaris yang ada pada lembaga-lembaga tersebut menjalankan fungsi serta peranannya yang sesuai oleh aturan-aturan yang ada dalam masyarakat. Fungsionaris yang ada di birokrasi menjalankan fungsinya sebagai pelayan masyarakat, fungsionaris yang ada dalam lembaga adat, kultur dan budaya bahkan agama juga menjalankan perannya sesuai dengan amanah leluhur, pemuka agama dan lain-lain sebagainya.
Lebih jauh penulis memaparkan bahwa sistem sosial mempunyai bagian yang saling berhubungan, misalnya, status suami, istri, dan anak yang saling berhubungan sehingga membentuk lembaga yang kita kenal sebagai keluarga. Pendidikan dalam lembaga keluarga sangat kental dan jelas yang menjadikan suami sebagai kepala keluarga  bertanggung jawab penuh dan menjadi panutan keluarganya dengan peranannya mencari nafkah buat keluarga.       




DAPTAR PUSTAKA
Kartasapoetra,G. Kreimers,L.J.B. Sosiologi Umum, Penerbit, Bina Aksara, Jakarta, 1984
Muhyi, Batubara, Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Ciputat Press, 2004,
Partanto Pius A, Dahlan,M, Kamus Ilmiah Populer, Penerbit; Arkola, Surabaya, 2001
Petrus, Guntur, ITB Bandung, www. Edidbloger.blogspot.com, 2008
Poloma, M Margaret, Sosiologi Kontemporer, Penerbit; RajaGrapindo, Jakarta, 2007
Wahyu,Prof.Dr.H., Sosiologi Pendidikan,Makalah, 2006
----------------------Pengertian Sosiologi, Makalah 2006
Yazid, Muhammad, geocities.com, 2008





   














\



[1] Guntur Petrus, ITB Bandung, www.edidbloger.blogspot.com/2008
[2] Wahyu, Prof, makalah sosiologi pendidikan, 2006, hal. 5
[3] Muhammad Yazid,www.geocities.com/ 2008
[4] Margaret M,P, Sosiologi Kontemporer, penerbit; RajaGrafindo Persada, Jakarta,2007 hal.23
[5] Wahyu, opcit.  hal.3-4
[6] Pius A Partanto, M.Dahlan, kamus ilmiah populer, Penerbit; Arkola, surabaya, 2001 hal.264
[7] Wahyu, Pengertian Sosiologi pendidikan,2006 hal. 1
[8] Pius,A,P, Dahlan, kamus ilmiah, opcit. Hal.659
[9] Margaret,M,P, opcit, hal. 43
[10] Ibid, hal.171
[11] G.Kartasapoetra, L.J.B.Kreimers, Sosiologi umum, Penerbit;Bina aksara, Jakarta, 1984 hal.33-37
[12] Ibid, hal.220
[13] Muhyi Batubara, Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Ciputat Press, 2004, hal. 92
[14] Muhyi Batubara, Ibid. hal. 93
[15] Wahyu,H.Prof, opcit, hal.3-4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar