Epistemologi Empirisme
By. Abu Bakar Elfayeed
BAB I
PENDAHULUAN
Pada prinsipnya ilmu pengetahuan menjadi sangat urgen ketika manusia dihadapkan pada perkembangan zaman yang semakin maju dengan ilmu pengetahuan. Melalui kompetisi modern dewasa ini maka ilmu pengetahuan sangat diperlukan dalam menjawab tantangan global. Sejalan dengan fakta tersebut diatas beberapa teori dapat diperoleh untukmendapatkan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang filsafat. Kita telah mengenal teori pengetahuan yan membicarakan cara memperoleh pengetahuan yang disebut Epistemolgi. yang kedua adalah teori hakikat yakni yang membicarakan pengetahuan itu sendiri yang disebut Ontologi. Dan yang ketiga adalah teori nilai yang membicarakan manfaat atau kegunaan pengetahuan itu sendiri yang disebut Axiologi. Secara umum ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari filsafat lebih luas cakupan pembahasannya dibanding dengan ilmu itu sendiri.
Oleh para filosof disebut sebagai induk dari ilmu pengetahuan karenanya dari
filsafat inilah lahir ilmu-ilmu modern dan kontemporer berkembang, sehingga manusia dapat menikmati ilmu sekaligus buahnya yaitu teknologi. Awalnya filsafat terbagi pada teoritis dan praktis. Filsafat teoritis mencakup metafisika, fisika, matematika, dan logika. Sedangkan filsafat praktis adalah ekonomi, politik, hokum, dan etika. Setiap ilmu ini kemudian berkembang ibarat suatu pohon dengan cabang dan ranting yang semakin lama semakin rindang. [1]
BAB II
PEMBAHASAN
A. EPISTEMOLOGI EMPIRISME
1. Pengertian Epistemologi
Epistemologi disebut juga teori pengetahuan yaitu cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.[2]
Epistemologi membicarakan sumber pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan.
Tatkala manusia baru lahir, ia tidak mempunyai pengetahuan sedikitpun. Nanti, tatkala ia 40 tahunan, pengetahuannya banyak sekali sementara kawannya yang seumuran dengan dia mengkin mempunyai pengetahuan lebih banyak dalam bidang yang sama atau berbeda. Bagaimana mereka itu mendapatkan pengetahuan itu? Mengapa juga berbeda tingkat akurasinya? Hal-hal semacam inilah yang dibicarakan dalam epistemology. Istilah Epistemologi untk pertama kalinya muncul dan digunakan oleh J.F.Ferrier pada tahun 1854.[3]
2. Pengertian Empirisme
Kata Empirisme berasal dari kata Yunani empeirikos yang berasal dari kata empeiria, artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata Yunaninya, pengalaman yang dimaksud ialah pengalaman inderawi. John locke (1632-1704), bapak aliran ini pada zaman modern mengemukakan teori tabula rasa yang secara bahasa berarti meja lilin. Maksudnya ialah bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu.[4]
John Locke adalah tokoh pembawa gerbong aliran empirisme dalam filsafat. Sebuah aliran yang mengimani bahwa semua pikiran dan gagasan manusia berasal dari sesuatu yang didapatkan melalui panca indera. Melalui pengalaman. Karena itu menurutnya, ide bawaan (innate idea) yang diyakini Descartes adalah omong kosong belaka. Locke sangat percaya bahwa benak manusia sewaktu ia dilahirkan kosong melompong bagaikan tabula rasa (kertas putih). Ide yang terdapat dibenak manusia, menurut locke sesungguhnya berasal dari pengalaman. Pengenalan manusia terhadap seluruh pengalaman yang dilaluinya (mencium, merasa, megecap, medengar) menjadi dasar bagi hadirnya “gagasan-gagasan sederhana”. Kemudian gagasan-gagasan yang datang dari indera pikiran diolah dengan cara berpikir, bernalar, mempercayai, meragukan dan dengan demikian memunculkan apa yang dinamakannya dengan perenungan.[5]
Dari pengertian diatas, pemakalah mencoba memberikan kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan Epistemologi Empirisme adalah sebuah cara atau metode untuk memperoleh pengetahuan, dan pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan yang didapatkan dari pengalaman (empiris) baik melalui pengalaman indera (rasa) atau pengalaman pikiran.
B. TOKOH-TOKOH EMPIRISME
1. John Locke (1632-1704)
Dilahirkan di Somesetshire, wrington pada tahun 1632. Tahun 1647-1652 ia belajar di Westminster . Dan tahun 1652 ia memasuki Universitas Oxford. Filsafat Locke dapat dikatakan dikatakan antimetafisika. Dalam tulisannya ia mengatakan bahwa semua pengetahuan dating dari pengalaman. Ini berarti bahwa tidak ada yang dapat dijadikan idea (konsep) tentang seseatu yang berada dibelakang pengalaman. Ia mengatakan:
“Selajutnya mari kita memandang pikiran, seperti kita tahu, seperti kertas putih, yang bebas dari semua sifat, tanpa ide apapun; lantas, bagaimana pikiran dilengkapi? Darimana datangnya simpanan yang banyak sekali, khayalan manusia yang amat banyak dan tak terbatas telah mengecatnya dengan aneka ragam yang hamper tiada akhir? Atas pertanyaan ini, saya menjawab dalam satu kata, dari pengalaman: di dalam pengalaman semua pengetahuan kita dibangun, dan dari pengalaman, pengetahuan pada puncaknya menurunkan dirinya”
Locke menekankan bahwa satu-satunya yang dapat kita tangkap adalah “penginderaan sederhana”. Ketika kita makan apel, misalnya, kita tidak merasakan seluruh apel itu dalam satu penginderaan saja. Sebenarnya, kita menerima serangkaian penginderaan sederhana- apel itu adalah benda berwarna hijau, rasanya segar, bauya segar dan sebagainya- setelah kita makan apel berkali-kali kita akhirnya berpikir: sekarang kita sedang makan “apel”. Secara demikian, dalam analisis akhir kita dapat menyimpulkan bahwa semua bahan bagi pengetahuan kita tentang dunia didapatkan dari pengalaman penginderaan.[6]
Penekanan diatas sudah sangat jelas bahwa apa saja yang terdapat di alam ini dapat kita ketahui melalui pengalaman karena dapat dirasakan secara langsung melalui pengalaman indera yang ada pada manusia.
Argumen-argumen Locke tentang Empirisme
1. Dari jalan masuknya pengetahuan kita mengetahui bahwa innate itu tidak ada. Memang agak umum orang beranggapan bahwa innate itu ada. Ia itu seperti distempelkan pada jiwa manusia, dan jiwa membawanya kedunia ini. Sebenarnya kenyataan telah cukup menjelaskan kepada kita bagaimana pengetahuan itu datang, yakni melalui daya-daya yang alamiah tanpa bantuan bawaan kesan-kesan bawaan. Dan kita sampai pada keyakinan tanpa suatu pengetahuan asli.
2. Persetujuan umum adalah argument yang terkuat. Tidak ada sesuatu yang dapat disetujui oleh umum tentang adanya innate idea sebagai suatu daya inhern. Argument ini ditarik dari persetujuan umum. Bagaimana kita mengatakan bahwa innate idea itu ada padahal umum tidak mengakui adanya.
3. Persetujuan umum membuktikan tidak adanya innate idea.
4. Apa innate idea itu sebenarnya tidaklah mungkin diakui dan sekaligus juga tidak diakui adanya. Bukti-bukti yang mengatakan ada innate idea justru saya jadikan alasan untuk mengatakan tidak ada.
5. Tidak juga dicetakkan (distempelkan) pada jiwa sebab pada anak idiot, idea yang innate itu tidak ada. Padahal anak normal dan ana idiot sama-sama berpikir.[7]
Argumen diatas menunjukkan bahwa innate idea tidak mungkin ada. Seperti dicontohkan pada anak-anak idiot. Kalau innate idea benar-benar ada maka kita tidak akan menjumpai anak-anak idiot karena ide bawaannya sudah mempunya pengetahuan. Dan realitas yang terjadi bahwa kita masih sering menjumpai anak-anak yang idiot didunia ini yang mengindikasikan bahwa innate idea itu memang tidak ada.
2. David Hume (1711-1776)
Sebagai seorang empiris, Hume pernah menulis sebuah buku tatkala ia berumur dua puluh tahunan. Namun buku ini tidak mendapat perhatian banyak orang, karenanya Hume pindah ke subjek lain, lalu ia tekenal sebagai seorang sejarawan. Buku yang ditulis ketika menjadi sejarawan juga menggunakan metode Empirisme. Sama dengan pedahulunya yang empirisis, Hume menyatakan bahwa semua pengetahuan dimulai dari pengalaman indera sebagai dasar.[8]
Bila rasioanalisme mendapat penganutnya di Eropa daratan, empirisme paling berkembang di Inggris. Empirisme memilih sebagai sumber utama pengenalan bukan rasio melainkan pengalaman. Dan yang oleh empirisme dimaksudkan sebagai pengalaman lahiriah yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi manusia. [9] Selanjutnya ia mengatakan sebagai berikut:
Semua persepsi jiwa manusia terbentuk melalui dua alat yang berbeda, yaitu impression dan idea. Perbedaan keduanya terletak pada tingkat kekuatan dan garisnya menuju jiwa dan jalan masuk kekesadaran. Persepsi yang termasuk dengan kekuatan besar dan kasar saya sebut impression (kesan), dan semua sensasi, nafsu, emosi saya masukkan kedalam kategori ini begitu masuk kedalam jiwa. Yang saya maksud dengan idea ialah gambaran kabur tentang persepsi yang masuk itu tadi kedalam pemikiran. Saya dapat juga membagi persepsi yang masuk itu menjadi sederhana dan yang ruwet (kompleks). Persepsi yang sederhana, atau kesan yang sederhana, atau idea yang sederhana adalah yang tidak dapat dibagi. Sedangkan yang kompleks adalah sebaliknya. Pembagian ini memberikan kepada kita susunan objek, dengan itu kita dapat memutuskan lebih teliti kualitas objek dan hubunga-hubungannya. Ransangan yang masuk kemata saya merupakan hubungan-hubungan antara kesan-kesan dan idea-idea, yang sama dalam segala hal kecuali dalam kekuatannya. Ransangan-ransangan yang merefleksi dalam jiwa berupa persepsi dan idea. Tatkala saya menutup mata saya dan saya berpikir, idea-idea yang saya bentuk benar-benar mewakili impression yang saya rasakan.
Mengapa? Karena tidak semua kesan (impression) direkam dalam idea. Menurut pendapat Hume, idea yang sederhana berasal dari kesan yang sederhana. Idea sederhana dapat berupa gambaran (image) tentang merah, bundar; kesan sederhana berupa merah, bundar. Idea yang lebih kompleks, mislanya idea tentang apel, adalah idea yang susunan dan asosiasinya rumit terdiri atas susunan dan asosiasi idea-idea sederhana. Bila saya mengatakan saya melihat sebuah apel, misalnya, saya menganalisis pengalaman saya. Idea saya ialah ada sebuah apel yang ditentukan oleh penglihatan saya pada warna merah, bentuk bulat, rasa apel, bau tertentu, dan seterusnya.
Hume mengajukan tiga argumentasi dalam menganalisis sesuatu. Pertama; ada idea tentang sebab-akibat (kausalitas); suatu kejadian disebabkan oleh kejadian lain. Maka dari kausalitas inilah oleh Hume muncul kausalitas universal. Kausalitas universal ialah hokum yang mengatakan bahwa setiap kejadian pasti mempunyai penyebab. Kalau mobil mogok, kita periksa karburator, sistem listriknya, dan lain-lain. Akan tetapi ada kalanya penyebab tersebut tidak diketahui. Kita hanya mengetahui sebab pasti ada, tetapi apa penyebab itu kita tidak tahu. Itu karena penyebabnya amat kompleks. Kedua, karena kita mempercayai kausalitas dan penerapannya secara universal, kita dapat memperkirakan masa lalu dan masa depan kejadian. Untuk melakukan peramalan tersebut kita mesti mempercayai observasi kita tentang kejadian sekarang serta relevansinya dengan masa lalu dan masa depan agar kita berani mengeneralisasikan pengalaman itu. Misalnya, bila saya bangun pukul enam pagi besok, saya sudah mengetahui bahwa matahari juga sudah terbit. Mengapa saya dapat meramal itu? Karena saya mengalami itu sejak lama. Observasi saya relevan dengan masa lalu dan masa datang tentang terbitnya matahari. Ketiga, dunia luar memang ada, yaitu dunia yang bebas dari pengalaman kita. Dunia itu ada sekalipun kita tidak mempunyai kesan dan idea tentangnnya. [10]
Cara Hume menjelaskan pertanyaan; dari kesan mana sebuah gagasan disusun?
Mekenismenya sebagai berikut:
a. Gagasan majemuk itu tersusun dari gagasan tunggal, dan gagasan tunggal pasti berasal dari kesan inderawi, karena itu cara meneliti suatu gagasan majemuk adalah mengurainya menjadi gagasan-gagasan tunggal penyusunnya.
b. Setelah ditemukan gagasan tunggal penyusun, kita harus menemukan kesan yang mejadi asal gagasan tersebut.jika ada kesan yang mendasari gagasan itu maka gagasan itu bertanggung jawab atau benar.
Misalnya, gagasan tentang surga. Surga seringkali digambarkan sebagai memiliki gerbang mutiara, jalan-jalan dari emas, dikelilingi bidadari, dan seterusnya. Semua itu adalah gagasan kompleks mengenai surga. Mari kita urai menjadi lebih sederhana, kita cari gagawan tunggalnya: mutiara, gerbang, jalan, emas, cantik dan seterusnya. Setelah itu kita cari dalam diri kita; apakah kita benar-benar mempunyai “kesan-kesan sederhana itu (mutiara, gerbang, jalan, emas, cantik)? Tentu saja punya. Dan gagasan surga dibangun oleh kesan-kesan itu. Artinya surga tidak pernah dialami ia hanya gagasan bukan kenyataan.[11]
3. Herbert Spencer (1820-1903)
Empirismenya dalam filsafatnya tentang the great unknowable (yang tidak diketahui). Menurut Spencer, kita hanya dapat mengenali fenomena-fenomena atau gejala-gejala. Memang benar dibelakang gejala-gejala itu ada suatu dasar absolute. Tetapi yang absolut itu tidak dapat kita kenal. Secara prinsip pengenalan kita hanya menyangkut relasi-relasi antara gejala-gejala. Dibelakang gejala-gejala ada suatu yang oleh Spencer disebut “yang tidak diketahui“. Sudah jelas, bagi Spencer bahwa metafisika menjadi tidak mungkin.
Penyebab semua itu adalah kerelatifan seluruh pengetahuan kita. Kita berpikir dengan cara menghubung-hubungkan pengetahuan.pikiran kita ini dibentuk oleh gejala-gejala itu, karena itu tidak mungkin kita menembus bagian belakang gejala tersebut.dari sini tahulah kita bahwa rekonsiliasi antara sains dan agama menjadi tidak mungkin. Apa yang difahami? Biarlah sains menbicarkan hukumnya; menolak Tuhan, mengambil materialisme; dan biarkanlah agama mempertahankan Tuhan dan menolak materialisme. Tidak ada jalan untuk memahami agama; agama terletak dibelakang fenomena.[12]
Prinsip umum ini tidak mesti dapat dipahami tetapi ia diketahui adanya. Tuhan dan agama ada tetapi tidak dapat dimeterialiskan, gelombang ada dan ritmenya juga ada namun tidak dapat diketahui secara rinci. Begitu juga pada kenyataan tentang pergantian musim dan sebagainya.
C. KELEMAHAN-KELEMAHAN EMPIRISME
Kelemahan aliran ini cukup banyak diantaranya;
1. Indera terbatas. Benda yang jauh kelihatan kecil. Apakah benda itu kecil? Tidak. Keterbatasan kemampuan indera ini dapat melaporkan objek tidak sebagaimana adanya. Dari sini akan terbentuk pengetahuan yang salah.
2. Indera menipu. Pada orang yang sakit malaria, gula rasanya pahit, udara panas dirasakan dingin. Ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang salah juga.
3. Objek yang menipu, contohnya ilusi, fatamorgana. Jadi, objek ini sebenarnya tidak sebagaimana ia ditangkap oleh alat indera; ia membohongi indera.
4. Berasal dari indera dan objek sekaligus. Dalam hal ini indera (mata) tidak mampu melihat seekor kerbau secara keseluruhan, dan kerbau itu juga tidak dapat memperlihatkan badannya secara keseluruhan.
Kesimpulannya, empirisme lemah karena keterbatasan indera manusia. Oleh karena itu, muncul aliran rasionalisme dan lain-lain. Ada aliran yang mirip dengan empirisme; sensaionalisme yang artinya ransangan inderawi. Secara kasar, sensasi sama dengan pengalaman inderawi.[13]
BAB III
KESIMPULAN
1. Epistemologi Empirisme adalah pengetahuan yang membahas tentang cara memperoleh pengetahuan melalui pengalaman.
2. Pengalaman yang dimaksud aliran ini adalah pengalaman inderawi.
3. Manusia lahir bagaikan kertas kosong (tabula rasa), yang tidak ada tulisan diatasnya. Maka setiap idea (konsep) tentang pengetahuan yang diperolehnya datang melalui pengalaman. Semua pengetahuan datang dari pengalaman, tidak ada yang dapat dijadikan idea atau konsep yang berada dibelakang pengalaman.
4. Filosof aliran empirisme adalah John Locke, David Hume dan Spencer.
5. Kelemahan aliran empirisme adalah adanya keterbatasan indera dalam memperoleh pengetahuan.
DAPTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal, Prof. Dr. Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, PT. RajaGrapindo Persada, Jakarta, 2007
Tafsir, Ahmad, Prof. Dr ., Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra, Penerbit; PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2007
Q-Anees, Bambang, Filsafat untuk Umum, Penerbit; Prenada Media, Jakarta ,
Mudji, Sutrisno, FX, Para Filsuf Penentu Gerak Zaman, Penerbit; Kanisius, Pustaka Filsafat, Yogyakarta ,
[1] Amsal Bahtiar, filsafat ilmu, (Jakarta , grafindo persada) hal.3
[2] Op.cit hal. 148
[3] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, akal dan hati sejak Thales sampai Chapra, Penerbit, Remaja Rosdakarya, Bandug, hal.23
[4] Ahmad Tafsir, op.cit hal.24
[6]Bambang, op.cit. hal 333-334
[7]A.Tafsir, op.cit. h.175-176
[8]A.Tafsir op.cit h. 180
[9]FX.Mudji Sutrisno, Para Filsuf Penentu Gerak Zaman, penerbit;Kanisius pustaka Filsafat, Yogyakarta , h.61
[10] A.Tafsir op.cit h. 180-183
[11]Bambang Q-Anees, op.cit h.344-345
[12]A.Tafsir op.cit h.186-187
[13] Op.cit h. 24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar