Sabtu, 18 Juni 2011

Faham Al'Hallaj (Mistik Sufisme)


Faham Al’Hallaj (Sufistik)
By. Abu Bakar Elfayeed

BAB I
PENDAHULUAN


Mistikisme Islam bermula dari berbagai aspirasi spiritual dan praktek keagamaan Nabi Muhammad SAW, para sahabatnya, dan para tokoh sesudahnya. Ketika kalangan elit arab sibuk dalam penaklukan dan pengaturan kekuasaan politik, sebagian muslim lainnya berusaha mempertanyakan makna kehidupan duniawi. Mereka mendiskusikan sejumlah permasalahan makna kehidupan, sebagai jalan menuju keridaan Tuhan. Beberapa diantara mereka memilih perilaku kesalehan yang mementingkan kegiatan penghafalan Alquran, mencurahkan diri pada hadis-hadis Nabi dan hokum,  dan pemenuhan ajaran-ajaran hadis tersebut dala kehidupan sehari-hari. Beberapa diantaranya memilih hidup zuhud. Mereka menegaskan ketidaktertarikannya pada hal-hal duniawi dan mementingkan ketekunan beragama, itulah para sufi. Merkea bertahan dalam kemiskinan dan mengasingkan diri serta menghindarkan diri dari hal-hal yang berbau dosa.
            Apabila berdampingan dengan kalangan ulama hadis, hukum, dan teologi, kalangan sufi itu membawa bentuk lain dalam penunaian agama. Kalanganan fuqaha dan teologi berkonsentrasi pada perumusan aturan-aturan yang diperintahkan Tuhan untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan mencari pemahaman rasional terhadap keyakinan mereka , sedangkan kalangan sufi berusaha mencari kedekatan (qurb) dan pengalaman individual. Dalam hal ini, penulis mencoba menerangkan paham yang berhubungan dengan keintiman manusia dengan Tuhan, dalam penyatuan itulah disebut al-hulul dengan tokoh paham ini dibawak an oleh Al-hallaj. Inilah yang akan penulis coba paparkan dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN


A. BIOGRAFI SINGKAT AL-HALLAJ
            Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Al-Mughits Al-Husain ibn Mansyur ibn Muhammad Al-Baidhawi. Ia dilahirkan sekitar tahun 244 H/858 M di daerah Thur, dekat Baidha, salah satu kota kecil dari wilayah Persia. Ia dibesarkan di kota Wasith dekat Baghdad. Ia merupakan cucu dari seorang majusi penyembah api, atau dari silsilah Abi Ya’qub. Sekitar usia enam belas tahun, dia belajar guru sufi, seperti: Abdullah At-Tustury di Ahwaz, Amr Al-Maki (sufi basrah), Al-Junaid (di Baghdad). Kemudian dia mengajak orang lain untuk hidup zuhud dan bertasawwuf. Ia digelari Al-Hallaj karena penghidupannya yang dia peroleh dari memintal wol. Ucapan-ucapan Al-Hallaj “ana al-haq” dianggap sebagai ucapan kemudaratan atau kesesatan yang dijadikan alasan untuk menangkapnya dan memenjarakannya. Pada tanggal 24 Dzulqa’dah 309 H/24 Maret 922 M, ia dibunuh dengan cara di salib  setelah disiksa sedemikan rupa. Ia digantung, namun sebelum digantung ia dicambuk seribu kali, lalu dipenggal kepalanya.[1]
            Al-Hallaj adalah tokoh yang paling kontroversial didalam sejarah mistimisme Islam. Al-Hallaj sangat sering melakukan pengembaraan, mula-mula keTustar dan Bagdad, kemudian ke Mekkah, dan sesudah itu ke Khiziztan, khurasan, sampai ke India dan Turkistan. Terakhir sekali ia kembali ke kota Baghdad, tetapi karena khotbah-khotbahnya yang berani mengenai bersatunya manusia dengan Tuhan ia akhirnya dipenjarakan. Didalam legenda muslim, al-Hallaj tampil sebagai seorang pencinta dan tergila-gila kepada Allah.

B. PENGEMBARAAN AL-HALLAJ
            Husain Al-Mansyur yang dijuluki al-Hallaj (pemintal bulu domba) mula-mula pergi ke Tustar dan ia mengabdi kepada Sahl bin Abdullah selama dua tahun. Setelah itu ia pindah ke Baghdad. Ia memulai pengembaraannya ketika ia berusia sekitar 18 tahun. Setelah itu ia pergi ke Basrah dan mengikuti Amr bin Utsman selama delapan belas bulan. Ya’qub menikahkan putrinya dengan al-Hallaj, dan setelah pernikahan itulah Amr bin Utsman tidak senang kepadanya. Maka Hallaj meninggalkan kota Basrah dan pergi ke Baghdad mengunjungi Junaid (seorang sufi terkenal). Junaid menyuruh Hallaj berdiam diri dan menyendiri. Setelah beberapa lama menjadi murid Junaid ia pergi ke Hijaz. Dia tinggal di kota Mekkah selama setahun,kemudian kembali ke Baghdad.[2]
            Sewaktu al-Hallaj tiba di Baghdad, para cerdik pandai yang terkemuka mengambil kesepakatan   bahwa al-Hallaj harus dihukum,Junaid sedan mengenakan jubah sufi dank arena itu ia tidak mau memberi tanda tangannya. Khlifah menyatakan bahwa mereka perlu mendapatkan tanda tangan Junaid. Maka pergilah Junaid untuk mengenakan sorban dan jubah kaum ilmuan. Kemudian ia kembali ke Madrasah dan menanda tangani keputusan itu. Junaid menuliskan, “ Kami memutuskan sesuai dengan hal-hal yang terlihat. Mengenai kebenaran yang terbenam di dalam kalbu, hanya Allah yang maha Tahu”.
             Ketika banyak pertanyaan al-Hallaj yang tidak mau di jawab Junaid, ia menjadi jengkel dan pergi menuju Taustar tanpa pamit. Disini ia tinggal selama setahun dan mendapat sambutan luas, karena al-Hallaj kurang acuh terhadap doktrin yang populer pada masa itu. Para theology sangat benci kepadanya. Sementara Amr bin Utsman menyurati orang-orang dan memburuk-burukkan namanya.
Kemudian Hallaj kembali ke Ahwaz, khotbah-khotbahnya disambut baik oleh kalangan atas maupun rakyat banyak. Di dalam khotbah-kotbahnya, ia mengajarkan rahasia-rahasia manusia sehingga ia dijuluki sebagai Hallaj yang mengetahui rahasia-rahasia. [3]
C. AJARAN AL-HALAJ TENTANG AL-HULUL 
1. Pengertian Hulul                                                    
            Secara Bahasa, Hulul berasal dari kata “halla-yahullu-hululan”, yang berarti menempati. Al-Hulul dapat berarti menempati suatu tempat. Jadi, al-Hulul dapat diartikan “Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yang telah lenyap sifat kemanusiaannya melalui fana” . menurut istilah Hulul berarti faham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia tertentu untuk mengembil tempat didalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.[4]
Pengertian al-hulul secara singkat ialah, Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat membersihkan dirinya dari sifat    kemanusiaannya melalui fana. Manusia mempunyai sifat dasar yang ganda, yaitu safat ke-Tuhan-an atau lahut dan sifat kemanusiaan atau nasut. Demikian juga halnya Tuhan memiliki sifat ganda, yaitu sifat-sifat ilahiyat atau lahut dan sifat-sifat insaniyah atau nasut. Apabila seseorang telah dapat menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya dan mengembangkan sifat-sifat ilahiyatnya melalui fana, maka Tuhan akan mengambil tempat dalam dirinya dan terjadilah kesatuan manusia dengan Tuhan dan inilah yang dimaksud dengan hulul.[5]

2. Konsep Ajaran al-Hulul
            a. tentang Teori Lahut dan Nasut
            Teori lahut dan nasut ini, berangkat dari pemahamannya tentang proses kejadian manusia. Al-Hallaj berpendapat, bahwa Adam sebagai manusia pertama diciptakan Tuhan sebagai copy dari diri-Nya (shurah min nafsi) dengan segenap sifat dan kebesarannya., sebagaimana ia ungkapkan dalam syairnya :


            Maha suci dzat yang menampakkan nasut-Nya,
            Seiring cemerlang bersama lahut-Nya,
            Demikian padu makhluk-Nya pun terlihat nyata,
            Seperti manusia yang makan dan minum layaknya.
            Konsepsi lahut dan nasut ini didasarkan al-Hallaj pada firman Allah dalam Surah Al-Baqarah : 34, [6] yang artinya: dan ingatlah ketika kami berfirman kepada para malaikat, “sujudlah kamu kepada Adam!” maka merekapun sujud kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri. Dan ia termasuk golongan yang kafir.[7]
Menurut pemahamannya adanya perintah Allah agar malaikat sujud kepada Adam itu adalah karena Alah telah menjelma dalam diri Adam sehingga ia harus disembah sebagaimana menyembah Allah. Bagaimana gambaran hulul itu, dapat dipahami dari ungkapan al-hallaj berikut ini;








Berbaur sudah sukma-Mu dalam rohku jadi Satu,
Bagai anggur dan air bening berpadu,
Bila engkau tersentuh, terusik pula aku,
Karena ketika itu, kau dalam segala hal adalah aku.
Aku yang kurindu, dan yang kurindu aku jua,
Kami dua jiwa padu jadi satu raga,
Bila kau lihat aku, tampak jua Dia dalam pandanganmu,
Jika kau lihat Dia, kami dalam penlihatanmu tampak nyata.[8]
            Dari ungkapan diatas, terlihat bahwa wujud manusia tetap ada dan sama sekali tidak hancur atau sirna. Dengan demikian, nampaknya paham hulul ini bersifat figuratif, bukan riil karena berlangsung dalam kesadaran psikis dalamkondisi fana dalam iradat Allah. Manusia diciptakan Tuhan sesuai dengan citraNya. Maka makna perpaduan itu adalah munculnya citra Tuhan kedalam citraNya yang ada pada diri manusia, bukan hubungn manusia dengan Tuhan secara riil. Oleh karena itu, ucapan ana al-haqq  yang  meluncur dari lidah al-hallaj, bukanlah ia dimaksudkan sebagai pernyataan bahwa dirinya adalah Tuhan. Sebab, yang mengucapkan kalimat itu pada hakikatnya adalah Tuhan juga tetapi melalui lidah al-hallaj. Selanjutnya al-Hallaj lebih memperjelas dengan syairnya;
           

Aku adalah rahasia yang maha benar, aku bukanlah yang Maha Benar,
            Aku hanyalah yang benar,bedakanlah antara Kami.
Lagipula, adalah sangat tidak logis apabila seorang sufi yang sepanjang usianya merindukan dan mencari Tuhan, mengaku dirinya sebagai Tuhan.[9]  
            Menurut analisis penulis, bahwa syair diatas menggambarkan kepada kita bahwa manusia itu terdiri dari dua elemen (unsur), yang keduanya tidak dapat dipisahkan antara keduanya. Ini sebuah realitas, bahwa jika kedua unsur itu berpisah maka tidak akan sempurna diri sebagai manusia yang hidup. Itulah lahir dan batin pada kita. Rahasia yang dimaksud al-hallaj dalam syair diatas adalah batin yang ada pada manusia. Wallahu ‘a’lam.
            Menurut pemahaman ini, Agama ulama fikih adalah agama lahir, sedangkan agama mereka adalah agama Batin. Mereka (pengikut aliran al-hallaj) mengklaim bahwa makrifat dan hikmah Ilahiyah lebih tinggi daripada ilmu para ulama. Alasannya, tidak ada ilmu yang menandingi tafakkur, dan orang yang sudah mendalam ilmunya dan sangat dekat kepada Tuhan, maka dia akan dapat melihat dengan benar.[10]
            Pada keterangan yang lain dijelaskan lebih jauh, antara manusia dan Tuhan terdapat jarak sehingga masing-masing mempunyai hakikat sendiri-sendiri. Akan tetapi, antara dua hakikat itu terdapat kesamaan. Dengan demikian, bila kesamaan itu semakin mendekat, kaburlah garis pemisah antara keduanya. Ketika itu terjadilah “persatuan” (hulul) antara Al-haqq dan manusia.[11]
            Pemahaman Al-Hallaj tentang kebersatuan manusia dengan Tuhan yang kemudian mengkristal dalam Al-Hulul. Ketika seorang sufi merasakan dirinya bersatu dengan Tuhan, maka dia merasakan sudah berada pada suatu tingkatan saat yang mencintai dan dicintai telah menjadi satu.[12]
Apabila seseorang bersih batinnya dan senantiasa hidup dalam kehidupan batiniyah maka semulanya ia Muslim, lalu Mukmin, lalu Saleh, lalu Muqarrab kepada Allah, setelah muqarrab, sekali-kali orang itu akan sampai kepada Al-hulul, yaitu bersatunya Khaliq dengan Makhluk, menjelmalah Tuhan kedalam dirinya. Keadaan ini samalah seperti kita melihat besi disepuh api sehingga berwarna merah. Maka manakah besi dan manakah api? Dikala itu maka kita tidak dapat membedakannya.[13]

            b. Antara Hulul dan Nur Muhammad
            mengenai konsep nur Muhammad, Al-Hallaj mengemukakan bahwa segala bentuk nur atau cahaya kenabian berasal dari cahaya Muhammad. Akan tetapi, dia Temukan pada Isa bukan pada Muhammad – suatu contoh ideal bagi orang yang sangat dekat dengan maqam Tuhan sehingga roh Allah menyatu mengambil tempat pada dirinya(Isa). Pendapat ini menegaskan bahwa pada diri Isa terdapat dua Roh. Pertama, roh Tuhan yang kekal yang tidak mengalami binasa dan perubahan. Kedua, roh manusia yang baharu, yang berlaku padanya hukum-hukum alam dan kerusakan. Al-Hallaj berpendapat bahwa Isa sebagai khalifah ialah yang pernah menyaksikan wujud-Nya atau keberadaan-Nya.[14]
            Al-Hallaj berpendapat bahwa cinta dan kasih sayang Allah terhadap hambaNya berada diatas segala sesuatu, dan dasar cinta adalah pengorbanan. Oleh karena itu, para wali Allah harus menghadapkan dirinya kepada Allah semata dalam bentuk penghambaan yang utuh dan mematuh perintah-Nya meskipun memberatkan bagi mereka.[15]
Ketika Al-Hallaj mengatakan, “saya Tuhan, (ana al-Haqq)” , sebenarnya yang berbicara adalah Tuhan (roh Tuhan) yang bersatu dengan (roh) Al-Hallaj. Asumsi ini diperkuat oleh paham ideologisnya, bahwa “unsur ketuhanan dapat bersatu dengan roh seorang zahid”. Dan zahid sufi ini menjadi bukti adanya zat yang maha hidup (Allah).[16]             
Menurut kesimpulan dari bahasan tentang nur Muhammad ini, maka dapat di klasifikasikan sebagai berikut:
            -Muhammad awwal dalam hal kejadian maka berposisi sebagai Nur
            -Muhammad akhir berposisi sebagai sosok dalam kenabian.[17]
3. Akhir Perjalanan Seorang Al-Hallaj
            Saat ajaran al-Hallaj semakin merasahkan, maka perjalanan berikutnya tokoh hulul ini ditangkap dan dipenjara. Ketika al-Hallaj dijebloskan kedalam penjara, kisah berikutnya adalah saat al-Hallaj berdialog dengan penghuni penjara yang berjumlah 300 orang yang menghuni dan dikurung ditempat itu. Suatu malam, Hallaj berkata kepada mereka:
“Maukah kalian jika aku membebaskan kalian?”
“mengapa engkau tidak membebaskan dirimu sendiri?” jawab mereka.
“Aku adalah tawanan Allah, jika kukehendaki, dengan sebuah gerak isyarat saja maka semua belenggu yang mengikat kalian dapat kuputuskan”. Kata Hallaj.
Kemudian Hallaj membuat gerakan dengna jarinya dan putuslah semua belenggu mereka.
Para tawanan bertanya lagi, “kemana kami harus pergi, pintu penjara masih terkunci”.   
Kembali Hallaj membuat gerakan dan seketika itu juga terlihatlah celah ditembok penjara.
“sekarang pergilah kalian!” kata Hallaj.
“apakah engkau tidak pergi bersama kami?” mereka bertanya.
“Tidak, jawab Hallaj. “aku mempunyai rahasia dengan Dia, yang tidak dapat disampaikan kecuali ditiang gantungan”.
Esok harinya, penjaga bertanya kepada Hallaj,
“kemanakah semua tahanan disini?”
“aku telah membebaskan mereka” jawab Hallaj.
“engkau sendiri, mengapa tidak meninggalkan tempat ini?” Tanya penjaga.
“dengan berbuat demikian, Allah akan mencela diriku. Oleh karena itu aku tidak melarikan diri dan bertanggung jawab atas perbuatanku”
Kejadian ini disampaikan kepada khalifah. Khalifah berseru, “pasti akan timbul kerusuhan. Bunuhlah Hallaj atau pukulilah dia dengan kayu sehingga ia menarik semua apa yang telah diucapkannya”.
Akihrnya, tibalah saat-saat Hallaj yang diperhadapkan dengan tiang gantungan yang kemudian menjadi akhir hidup seorang Hallaj.
Digiringlah ia ke panggung tiang gantungan. Dengan menyeret tiga belas rantai yang membelenggu dirinya. Hallaj berjalan sambil mengacung-acungkan kedua tangannya.
“mengapa engkau melangkah sedemikian angkuhnya? Bagaimanakah perasaanmu saat ini?” mereka bertanya.
“kenaikan bagi manusia-manusia sejati adalah dipuncak tiang gantungan” jawab alHallaj. Ketika itu Hallaj mengenakan sebuah celana dan sebuah mantel. Ia menghadap kearah kota Mekkah, mengangkat kedua tangannya dan berdoa kepada Allah.
“Yang diketahui-Nya tidak diketahui oleh siapapun juga” lalu naik keatas gantungan.
Sekelompok murid-muridnya bertanya: “apakah yang dapat engkau katakan mengenai murid-muridmu ini dan orang-orang yang mengutukmu dan hendak merajammu ini?”
 “Mereka memperoleh dua ganjaran tetapi kalian hanya sebuah” jawab Hallaj.
Syibli datang dan berdiri didepan Hallaj.
“apakah sufisme itu?”
“bagian yang terendah dari sufisme adalah hal yang dapat kau saksikan ini” jawab Hallaj.
“dan bagian yang lebih tinggi?” Tanya syibli.
“bagian itu takkan terjangkau olehmu” jawab Hallaj.
Kemudian semua penonton elempari Hallaj dengan batu. Agar sesuai dengan orang ramai, Syibli melontarkan sekepal tanah dan Hallaj mengeluh.
“Engkau tidak mengeluh ketika tubuhmu dilempari batu”, orang-orang bertanya kepadanya,  “tetapi mengeluh kerena sekepal tanah?”
“karena orang-orang yang merajamku dengan batu tidak menyadari perbuatan mereka. Dan mereka dapat dimaafkan. Tetapi tanah yang dilemparkan ke tubuhku itu sungguh menyakitkan karena ia tahu bahwa seharusnyaia tidak melakukan hal itu”.[18]
Ada dua alasan mengenai jawaban Hallaj ketika mendapat lemparan tanah. Syibli adalah termasuk orang yang meyakini ajaran yang disampaikan Hallaj bahkan dia termasuk tokoh sufi. Setidaknya jawaban iu ditujukan kepada Syibli sebagai sindiran Hallaj kepadanya. Dan alasan kedua adalah bahwa tanah juga mempunya hakikat hayat, sama-sama mempunyai roh. Yang dilempar dan yang melempar adalah hakikatnya satu, ini ketika ilmu hakikat sudah dipahami.
Selanjutnya, hukuman al-Hallaj berlanjut. Kaki dan Tangan Hallaj dipotong namun dia tertawa. Darah yang keluar dari tangannya yang bunting disapukan kewajahnya. Orang-orang bertanya, “mengapa engkau berbuat demikian?”
“telah banyak darahku yang keluar dan tertumpah, aku menyadari bahwa wajahku saat ini telah berubah pucat dan takut kalian menyangka bahwa kepucatan itu karena aku takut. Maka kusapukan kemukaku. Pupur seorang pahlawan adalah darah mereka sendiri”.
Singkatnya, ketika setiap bagian tubuh Hallaj dipotong mulai dari hidung, telinga sampai biji mata hallaj dikeluarkan, dan terakhir lidahnya. yang terdengar adalah “ suara “ana alhaqq”.
Kata-kata yang di ucapkan Hallaj adalah: “cinta kepada Yang Esa adalah melebur kedalam yang Esa”. Setelah itu maka dipenggallah kepala Hallaj. Dalam keadaan tersenyum iapun mati.[19]
Karena kawatir menjadi fitnah yang lebih besar (karena selalu terdengar kata-kata “ana al-HAqq “ dari setiap potongan tubuhnya) maka mayat dibakar keesokan harinya.     Dari abu pembakaran mayat Al-Hallaj, saat itu juga dibuang ke sungai Tigris, ketika abunya mengembang di permukaan air dari abu-abu itu terdengar lagi ucapan “akulah yang Haq”. Ketika ia masih hidup, Hallaj pernah berkata:
“Apabila mereka membuang abu pembakaran mayatku kesungai Tigris, kota Baghdad akan terancam air bah. Taruhlah jubahku di tepi sungai agar Baghdad tidak binasa”. Seorang hambanya, setelah menyaksikan betapa air sungai mulai menggelora, segera mengambil jubah tuannya dan menaruh jubah itu dipnggir sungai Tigris. Ais sungai mereda kembali dan abu-abu itu tida bersuara lagi, kemudian orang-orang mengumpulkan kembali abu-abu itu dan menguburkannya.[20] 
Apa yang bisa kita petik sebagai pelajaran dari akhir perjalanan Hallaj? Adalah Hallaj betapapun mendapat cercaan dan siksa fisik, namun konsep hulul telah benar-benar mengakar didalam keyakinan dan dada Al-Hallaj.





BAB III
KESIMPULAN


-          Al-Hallaj dikenal sebagai tokoh Hulul
-          Hulul berarti menempati suatu tempat yakni didalam diri manusia
-          Hallaj berpendapat bahwa Tuhan dan hambanya bersatu dalam diri yang hakiki
-          Manusia perlu menghargai dirinya karena dia adalah satu tempat dengan Tuhan dalam arti yang dalam (hakikat) seperti digambarkan ketika semua bersujud kepada nabi Adam.
-          Nur Muhammad dan Hulul sangat berhubungan erat.


           











DAPTAR PUSTAKA

Solihin, Muhammad, Tasawuf Tematik (Membedah tema-tema tentang Tasawuf), Perpustakaan Setia, 2003
            Siregar, Rivay, Tasawuf; dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, Edisi Revisi, Rajawali Pers, 2002
            Al-Attar, Fariruddin, Arberry,A.J, Warisan Para Auliya, Penerbit Pustaka, Bandung, 2004
            Umari, Barmawi, Sistimatik Tasawuf, Penerbit, Mitra Pecinta Buku, Ramadhani, Solo, 1999
A.                sell, Michael, Sufisme Klasik;memenuhi tradisi Sufi, Penebit: Mimbar Pustaka, 2000
Ahamad, Amin, Husayn, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, Penerbit; P.T Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001
Departemen, Agama, Al-Quran dan Terjemah, dicetak; CV, Naladana,2004













[1]Dr.M.Solihin,M.Ag, Tasawuf Tematik, membedah tema-tema penting Tasawuf, Pustaka Setia, hal. 74-75
[2]Fariruddin, A.J.Arberry, Warisan para Auliya, Pustaka; Bandung, hal.336
[3] Ibid h. 337-338
[4] Solihin, op.cit.hal 74-75
[5] Prof.H.A.Rivay Siregar, Tasawuf; dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, Rajawali Pers, hal.156
[6] Rivay Siregar, op.cit. hal.156
[7] Departemen Agama;Al-Quran dan terjemahan, cetakan cv.Naladana, hal.7
[8]Rivay Siregar, opcit. Hal. 157-158
[9] Ibid h.158
[10]Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh; dalam sejarah islam, Penerbit:PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, hal. 114
[11]Solihin.op.cit hal. 75
[12]Ibid hal.75
[13]Drs.Barmawi Umari, Sistimatik tasawuf, penerbit;mitra pecinta buku, Ramadani, solo, hal.138
[14]ibid
[15]ibid
[16]Ibid hal. 83
[17]Barmawi umari opcit. Hal. 138
[18] Fariruddin, opcit. Hal.342
[19] ibid
[20] Ibid. hal 344

Tidak ada komentar:

Posting Komentar