Sabtu, 18 Juni 2011

Bahaya Gibah

Bahaya Gibah

Posted on by Abied Elfayeed

Bahaya Gibah

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
Terjemah
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw. telah bertanya, “Tahukah kalian apakah gibah itu?” para Sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu. Lalu Rasul bersabda, “(gibah) itu ialah kamu menceritakan hal saudaramu yang ia tidak menyukainya”. Lalu seseorang bertanya, “Bagaimana pendapatmu bila apa yang aku katakan ada pada diri saudaraku?”. Rasul menjawab, “Jika apa yang kamu ceritakan itu ada pada diri saudaramu, maka kamu telah melakukan gibah terhadapnya. Dan bila apa yang kamu katakan itu tidak ada pada diri saudaramu maka kamu telah mengada-ada tentangnya“.
Takhrij Hadits
Untuk menemukan hadits di atas tidaklah sulit karena hadits ini tergolong hadits yang masyhur, dikenal di kalangan umat. Beberapa Imam ahli hadits telah meriwayatkan hadits ini di antaranya Imam Muslim dalam shahihnya di bawah judul : Kitab kebaikan, hubungan dan adab bab keharaman gibah hadits no. 4690, Imam At Tirmidzi dalam sunannya di bawah judul Kitab Shaum dan Kitab  kebaikan, bab gibah hadits no. 1857 dan ia menilainya hasan shahih, Imam Abu Dawud dalam sunannya di bawah judul kitab adab bab gibah no. 4231, Imam Ahmad dalam musnadnya hadits no. 8625, 8648. Ad Darimy dalam Sunannya Kitab Ar Riqoq bab gibah no. 2598. Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya juz 13 hal 71 hadits no. 5758. Dan Imam Malik dalam Al Muwaththanya pada kitab Al Jami’ bab gibah no. 1565 dengan lafal :
أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا الْغِيبَةُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَذْكُرَ مِنْ الْمَرْءِ مَا يَكْرَهُ أَنْ يَسْمَعَ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنْ كَانَ حَقًّا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قُلْتَ بَاطِلًا فَذَلِكَ الْبُهْتَانُ
Demikian ulama-ulama hadits telah meriwayatkan hadits di atas bahkan Ibnu Abi Dunya telah mengoleksi hadits-hadits tentang gibah dan dikumpulkan dalam satu buku yang berjudul gibah dan namimah.
Syarah Bahasa
أَتَدْرُونَ, hamzah di sini merupakan hamzah istifham (alat untuk bertanya), tetapi pertanyaan di sini adalah untuk menetapkan/ menegaskan (taqrir) karena datangnya dari yang tahu untuk orang yang tidak tahu.
الْغِيبَةُ  berasal dari غَابَ يَغِيْبُ غَيْبَة و غِيْبَة  yang berarti tidak hadir, tidak Nampak di depan mata, hal tidak ada, umpatan, gunjingan. Menurut istilah gibah adalah menceritakan orang lain tanpa sepengetahuannya, tentang sifat atau keadaan yang ada pada dirinya, yang seandainya dia mendengarnya pastilah dia tidak mengetahuinya (Abdullah Jarullah, 1993: 18).
ذِكْرُكَ kalimat dzikir menurut asal makna adalah menyebut/ melafalkan dengan lisan.
بَهَتَّهُ berasal dari بَهَتَ يَبْهَتُ بُهْتٌ و بُهْتَان  yang mengandung arti membuat kebohongan, hal membuat-buat kebohongan.
Syarah Hadits
Menjaga kehormatan seorang muslim adalah salah satu upaya untuk menjaga keutuhan persaudaraan sesama muslim. Oleh sebab itu, Rasul telah mengharamkan bagi seorang muslim merusak kehormatan saudaranya.  Antisipasi kearah itu diantaranya dengan melarang umat Islam untuk berbuat gibah. Apa yang dimaksud dengan gibah?
Rasulullah saw. telah mendefinikan langsung bahwa gibah adalah membicarakan seseorang yang tidak disukainya ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ. Begitu juga para sahabat seperti Ibnu Umar ketika ditanya tentang gibah ia menjawab gibah ia engkau membicarakan orang sesuai dengan apa yang ada padanya, sedangkan buhtan ialah engkau mengatakan seseorang yang tidak terbukti padanya. (lihat Ibnu Abi Dunya, Al Gibah wan Namimah: juz 1:83-84).
Menurut Abdullah bin Jarullah bentuk-bentuk gibah berbagai macam yaitu : terkadang gibah berbentuk pembicaraan tentang keadaan jasad orang lain, dengan mengatakan orang itu buta, juling, pendek atau yang lainnya yang tidak disukai bila terdengar oleh yang bersangkutan. Gibah bisa juga tentang nasab, pekerjaan, akhlak bahkan dapat berkaitan dengan apa yang dikenakan seseorang dengan mengatakan bajunya panjang, lengan baju lebar, kaca matanya tebal, dan sebagainya. Imam Nawawy mengatakan bahwa gibah tidak terbatas ucapan saja tetapi mencakup gerakan dan isyarat (dalam Raji Afw Rabbah, Taudihul Ahkam: 429).
Semua yang dijelaskan di atas termasuk gibah. Bila semua itu sesuai dengan keadaan orang yang diceritakannya tanpa dibumbui dengan dusta, maka membicarakan hal tersebut termasuk gibah yang hukumnya haram dan termasuk dosa besar bahkan terdapat suatu riwayat bahwa dosa gibah lebih berat daripada dosa zina. Dari Jabir dan Abi Sa’id mereka berkata, “Rasulullah saw. telah bersabda : “Jauhilah oleh kalian gibah, karena dosa gibah lebih berat daripada zina. Seseorang yang berzina kemudian tobat maka allah akan mengampuni tobatnya tetapi pegibah tidak akan diampuni sehingga ia dimaafkan oleh yang digibahinya.   (Al Mu’zamul Ausath : Juz 6: 348, Ibnu Abi Dunya, Al Gibah wan Namimah: juz 1: 47).
Bau busuk  gibah berpengaruh terhadap bau busuknya udara. Sebagaimana diceritakan oleh Jabir bin Abdullah ketika di suatu perjalanan tercium bau busuk. Maka Rasulullah saw. bersabda : “Tahukah kamu angin apa ini? “Ini adalah angin dari orang-orang munafik yang mencela orang-orang yang beriman. (Al Gibah wan Namimah: juz 1: 78).
Perbuatan gibah adalah perbuatan yang menyebabkan tersebarnya aib seseorang dan menyebabkan pembunuhan karakter seseorang. Oleh sebab itu pelaku gibah diancam dengan hukuman pendahuluan yaitu siksa kubur dan kelak mereka akan mendapat siksa di neraka sebagaimana digambarkan oleh Rasulullah saw. ketika Mi’raj diperlihatkan kepadanya suatu kaum yang mencakar-cakar wajahnya dan oleh Rasul ditanyakan kepada Jibril, “Siapa mereka itu, wahai Jibril? “Mereka adalah orang-orang yang suka gibah dan merendahkan kehormatan kaum muslimin.
Gibah menghancurkan shaum sebagaimana riwayat dari Abu Ubaidah bin Jarra bahwasanya ia telah mendengar Rasulullah saw. bersabda : “Shaum itu adalah benteng (junnatun) sepanjang tidak ada yang membakarnya, yaitu gibah (Ad Darimy: 1669, Baehaqy dalam Su’abul Iman juz 5 : 305).
Betapa ruginya sang pelaku gibah, disamping ia telah maksiat kepada Allah ia juga telah melakukan dosa kepada sesama manusia. Allah swt. mengibaratkan pelaku gibah sebagaimana orang yang memakan bangkai saudaranya. Amr bin ‘Ash melihat bangkai keledai dan ia mengatakan : “Demi Allah, salah seorang dari kamu memakan bangkai keledai ini lebih baik daripada memakan bangkai saudaranya (Ibnu Abi Dunya Juz 1: 61).
Oleh sebab itu alangkah bijaknya apabila kita menghindari perbuatan-perbuatan yang berbau gibah. Di bawah ini, tips supaya kita terhindar dari gibah :
Pertama, Sahl bin Abdullah mengatakan : “Barangsiapa ingin selamat dari gibah maka hindarilah pintu prasangka, barangsiapa yang selamat dari prasangka ia selamat dari tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain), siapa yang selamat dari tajassus ia selamat dari gibah, siapa yang selamat dari gibah, selamat dari kepalsuan dan barangsiapa yang selamat dari kepalsuan ia akan selamat dari dusta (buhtan) (Baehaqy, Su’abul Iman Juz 5: 316).
Kedua, Ibnu Abbas mengatakan : “Apabila kamu hendak menyebutkan aib saudaramu maka ingatlah akan aibmu.
Ketiga, Seringlah ingat kepada Allah. Umar bin Khotob mengatakan : “ Janganlah kamu sibuk mengingat (menceritakan) orang lain karena itu adalah malapetaka (penyakit). Hendaklah kamu ingat kepada Allah karena sesungguhnya itu adalah rahmat (obat).
Tidak semua membicarakan orang lain dikatagaorikan gibah. Imam Muslim dalam mukaddimahnya menyatakan bahwa menjelaskan tentang keadaan rawi-rawi itu boleh bahkan wajib dan tidak termasuk gibah yang diharamkan. Imam Nawawi dalam syarah shahih muslimnya (Juz 16: 142) menerangkan enam hal yang diperbolehkan untuk menceritakan (gibah) yaitu : pertama, karena kedzaliman, boleh bagi orang yang didzalim menerangkan kepada penguasa, hakim, dan selainnya yang mempunyai otoritas untuk menghentikan kedzaliman tersebut.  Kedua, meminta pertolongan untuk merubah perbuatan munkar dan mengembalikan orang yang maksiat ke jalan kebenaran. Ia boleh mengatakan kepada orang yang mampu merubahnya bahwa si pulan telah berbuat ini dan itu. Ketiga, meminta fatwa atau nasihat dengan mengatakan bahwa si pulan telah berbuat sesuatu padanya, seperti seorang istri mengadu tentang perbuatan suaminya yang bakhil. Keempat, mengingatkan kaum muslimin dari kejahatan seseorang. Kelima, menjauhi kefasikan dan kebida’ahan seseorang, dan Keenam, pemberian nama yang telah dikenal dan disetujui oleh empunya, misalnya si pincang, si buta dan sebagainya. (lihat pula kitab Riyadus Sholihin juz 1 hal 1939-1940).
Seorang muslim adalah apabila muslim yang lain selamat dari lisan dan perbuatannya. Bagi orang-orang yang dapat menyelamatkan kehormatan orang lain ia akan selamat dari siksa api neraka. Sebagaimana hadits berikut : “Barangsiapa yang membela kehormatan saudaranya maka Allah akan membelanya dari siksa api nereka, apabila ia tidak mampu menolak/ membelanya maka tinggalkanlah majlis gibah tersebut. (Riyadus Sholihin, Juz I: 1935-1936). Dalam hadits lain disebutkan “Barangsiapa menolong saudaranya dari perbuatan gibah, Allah akan menolongnya di dunia dan di akhirat. (Ibnu Abi Dunya, Juz I: 102).
Syarah Kontekstual
Gibah merupakan penyakit sosial yang tidak terasa dosanya. Apabila seseorang minum khamar atau berbuat zina akan nampak aib dari perbuatannya itu. Padahal perbuatan gibah sebagaimana telah dijelaskan dosanya lebih besar dari perbuatan zina.
Islam telah mengharamkan dan melarang kita dari gibah karena dapat mengakibatkan putusnya hubungan kekerabatan, rusaknya kasih sayang, timbulnya permusuhan, pembunuhan karakter, menimbulkan stigma negatif dan akibat lain yang mungkin tidak terduga sebelumnya.
Penyakit sosial tersebut seharusnya cepat diobati dan dihindari jangan sampai terbawa mati. Namun maraknya infotainment yang menjurus ke arah gibah bahkan mencari-cari kesalahan (tajassus) justru menambah menahun penyakit tersebut. Oleh sebab itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Amidhan mengingatkan para pekerja infotainment agar harus hati-hati dalam menjalankan tugasnya. Soalnya, banyak keluhan masyarakat bahwa pekerja infotainment dalam menjalankan tugas kesehariannya lebih cenderung menggali-gali kesalahan orang.
Tayangan-tayangan yang cenderung menelanjangi adalah cara-cara yang biasa dilakukan oleh pekerja infotainment di dunia liberal, seperti Amerika Serikat dan Eropa. Cara-cara semacam itu sangat tidak pantas diberlakukan di Indonesia yang nota bene mayoritas muslim dan bangsa yang beradab.
Sebagai akhir dari tulisan ini, penulis mengajak kepada segenap umat untuk bersama-sama bersikap hati-hati dari gibah. Karena perbuatan gibah akan mengalami kerugian di dunia dan di akhirat baik bagi pelakunya maupun pendengar/ penikmatnya.
Wallahu A’lam bis shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar