Minggu, 19 Juni 2011

Ilmu Ladunny...?


Pendapat Al-Ghazali Tentang Ilmu Laduni
Menurut Hujjatul Islam Al Ghazali bahwa pada garis besarnya, seseorang mendapat ilmu itu ada dengan dua cara: 1. Proses pengajaran dari manusia, disebut: At Ta'lim Al Insani, yang dibagi menjadi dua, yaitu: a. Belajar kepada orang lain (di luar dirinya). b. Self study dengan menggunakan kemampuan akal pikirannya sendiri. 2. Pengajaran yang langsung diberikan Allah kepada seseorang yang disebut At Ta'lim Ar Rabbani. Ini dibagi menjadi dua, yaitu: a. Diberi dengan cara wahyu, yang ilmunya disebut: ilmu Al Anbiya (Ilmu Para Nabi) dan ini khusus untuk para nabi. b Diberikan dengan cara ilham yang ilmunya disebut Ilmu ladunny (ilmu dari sisi Tuhan). Ilmu ladunny ini diperoleh dengan cara langsung dari Tuhan tanpa perantara. Kejadiannya dapat diumpamakan seperti sinar dari suatu lampu gaib yang sinar itu langsung mengenai hati yang suci bersih, kosong lagi lembut. Ilham ini merupakan perhiasan yang diberikan Allah kepada para kekasih Nya (para wali).

Kisah simbolik anatara Nabi Musa dengan nabi Khidir ini mengisyaratkan adanya tingkatan-tingkatan kecerdasan. Kecerdasan yang dimiliki Khidlir dapat dikategorikan kecerdasan spiritual. Sementara model kecerdasan yang ditampilkan Nabi Musa adalah kecerdasan intelektual. Kisah ini juga mengisyarakan bahwa kecerdasan spiritual tidak hanya dapat diakses oleh para Nabi tetapi manusia yang buka Nabi pun berpotensi untuk memperolehnya.

Al-Gazali sesungguhnya sudah lama telah memperkenalkan model kecerdasan spiritual ini dengan beberapa sebutan, seperti dapat dilihat dalam konsep mukasyafah dan konsep ma’rifah-nya. Menurut Al-Gazali, kecerdasan spiritual (ladunni) dalam bentuk mukasyafah (ungkapan langsung) dapat diperoleh setelah roh terbebas dari berbagai hambatan. Roh tidak lagi terselubung oleh khayalan pikiran dan akal pikiran tidak lagi menutup penglihatan terhadap kenyataan Yang dimaksud hambatan di sini ialah kecenderungan-kecenderungan duniawi dan berbagai penyakit jiwa. Mukasyafah ini juga merupakan sasaran terakhir dari para pencari kebenaran dan mereka yang berkeinginan meletakkan keyakinannya dalam di atas kepastian. Kepastian yang mutlak tentang sebuah kebenaran hanya mungkin ada pada tingkat ini.

Kecerdasan spiritual menurut Al-Gazali dapat diperoleh melalui wahyu dan atau ilham. Wahyu merupakan “kata-kata” yang menggambarkan hal-hal yang tidak dapat dilihat secara umum, yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya dengan maksud supaya disampaikan kepada orang lain sebagai petunjuk_nya. Sedangkan ilham hanya merupakan “pengungkapan” (mukasyafah) kepada manusia pribadi yang disampaikan melalui batinnya. Al-Gazali tidak membatasi ilham itu hanya pada wali tetapi diperuntukkan kepada siapapun juga yang diperkenankan oleh Allah.

Menurut Al-Gazali, tidak ada perantara antara manusia dan pencipta-Nya. Ilham diserupakan dengan cahaya yang jatuh di atas hati yang murni dan sejati, bersih, dan lembut. Dari sini Al-Gazali tidak setuju ilham disebut atau diterjemahkan dengan intuisi. Ilham berada di wilayah supra conciousnes sedangkan intuisi hanya merupakan sub-conciousnes. Allah Swt sewaktu-waktu dapat saja mengangkat tabir yang membatasi Dirinya dengan makhluk-Nya. Ilmu yang diperoleh secara langsung dari Allah Swt, itulah yang disebut ‘Ilm al-Ladunny oleh Al-Gazali.

Orang yang tidak dapat mengakses langsung ilmu pengetahuan dari-Nya tidak akan menjadi pandai, karena kepandaian itu dari Allah Swt. Al-Gazali mengukuhkan pendapatnya dengan mengutip Q.S. Al-Baqarah/2:269:

Allah menganugrahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).

Al-Gazali mengakui adanya hierarki kecerdasan dan hierarki ini sesuai dengan tingkatan substansi manusia. Namun Al-Gazali hierarki ini disederhanakan menjadi dua bagian, yaitu:

1.Kecerdasan intelektual yang ditentukan oleh akan (al-‘aql)

2.Kecerdasan Spiritual yang diistilahkan dengan kecerdasan ruhani, yang ditetapkan dan ditentukan oleh pengalaman sufistik (intuisi).

Ibn Arabi menganalisis lebih mikro lagi tentang kecerdasan spiritual dengan dihubungkannya kepada tiga sifat ilmu pengetahuan ini, yaitu yaitu pengetahuan kudus (‘ilm al-ladunni), ilmu pengetahuan misteri-misteri (‘ilm al-asr±r) dan ilmu pengetahuan tentang gaib (‘ilm al-gaib). Ketiga jenis ilmu pengetahuan ini tidak dapat diakses oleh kecerdasan intelektual. Tentang kecerdasan intelektual, Ibn ‘Arabi cenderung mengikuti pendapat Al-Hallaj yang menyatakan bahwa intelektualitas manusia tidak mampu memahami realitas-realitas. Hanya dengan kecerdasan spirituallah yang mampu memahami ketiga sifat ilmu pengetahuan tersebut di atas.

Al-Gazali dan Ibn ‘Arabi mempunyai kedekatan pendapat di sekitar aksessibilitas kecerdasan spiritual. Menurut Al-Gazali, jika seseorang mampu mensinergikan berbagai kemampuan dan kecerdasan yang ada pada diri manusia, maka yang bersangkutan dapat “membaca” alam semesta. Kemampuan membaca alam semesta di sini merupakan anak tangga menuju pengetahuan (ma’rifah) tentang pencipta-Nya. Karena alam semesta menurut Al-Gazali merupaka “tulisan” Allah Swt.

Menurut Al-Gazali, hampir seluruh manusia pada dasarnya dilengkapi dengan kemampuan untuk mencapai tingkat kenabian dalam mengetahui kebenaran, antara lain dengan kemampuan membaca alam semesta tadi. Fenomena “kenabian” bukanlah sesuatu yang supernatural, yang tidak memberi peluang bagi manusia dengan sifat-sifatnya untuk “menerimanya”. Dengan pemberian kemampuan dan berbagai kecerdasan kepada manusia, maka “kenabian” menjadi fenomena alami. Keajaiban yang menyertai para Rasul sebelum Nabi Muhammad bukanlah aspek integral dari “kenabian”, tetapi hanyalah alat untuk pelengkap alam mempercepat umat percaya dan meyakini risalah para Rasul itu.


Demikianlah kisah Musa dengan Khidhir, maka bergantung kepada kisah ini untuk memperbolehkan ketidak butuhan wahyu kepada ilmu ladunny, merupakan kufur yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Adapun perbedaannya, Musa tidak diutus sebagai rasul kepada Khidhir dan Khidhir tidak diperintah untuk menjadi pengikut Musa. Andaikan Khidhir diperintahkan menjadi pengikut Musa, tentunya Khidhir diperintahkan untuk mendatangi Musa dan hidup bersama beliau. Karena itu Khidhir bertanya kepada Musa, "Kamukah Musa, nabi Bani Israel?" Musa menjawab, "Ya."

Sementara Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam diutus kepada semua manusia. Risalah beliau diperuntukkan bagi jin dan manusia di setiap zaman. Andaikan Musa dan Isa masih hidup, tentu keduanya menjadi pengikut beliau. Andaikan Isa bin Maryam turun ke bumi, tentu Isa akan menerapkan syariat beliau. Maka siapa yang beranggapan bahwa Isa dengan Muhammad sama seperti Musa dengan Khidhir, atau memperbolehkan anggapan seperti ini, maka hendaklah dia memperbarui Islamnya dan mengucapkan syahadatain sekali lagi secara benar. Karena dengan anggapan seperti itu dia telah keluar dari Islam secara total, dan sama sekali tidak bisa disebut wali Allah, tapi wali syetan.

Maksud perkataan, "Pengetahuannya adalah kesaksiannya", bahwa ilmu ini tidak bisa diambil dengan pemikiran dan kesimpulan, tapi dengan melihat dan menyaksikannya.

Maksud perkataan, "Sifatnya adalah hukumnya", bahwa sifat-sifatnya tidak bisa diketahui kecuali dengan hukum-hukumnya, sifatnya terbatas pada hukumnya, saksinya adalah hukumnya. Hukum ini merupakan dalil, sehingga antaranya dan hal-hal yang tidak tampak tidak ada hijab. Berbeda dengan ilmu-ilmu lain.

Inilah yang diisyaratkan orang-orang, bahwa ilmu ini merupakan cahaya dari sisi Allah, yang mampu menghapus kekuatan indera dan hukum-hukumnya. Inilah makna yang diisyaratkan dalam atsar Ilahy,"Jika aku mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Aku menjadi penglihatannya yang dia pergunakan untuk melihat...."

Demikianlah Ilmu ladunny yang datang dari Allah merupakan buah cinta ini, yang muncul karena mengerjakan nafilah setelah fardhu. Sedangkan ilmu ladunny yang datang dari syetan merupakan buah berpaling dari wahyu, mementingkan hawa nafsu dan memberi kekuasaan kepada syetan.

Renungkanlah,,,,,, by. Abee Elfayeed

Ruh, Qalb, Nafs, dan Aqal


Menurut al-Ghazali istilah Ruh, Qalb, Aql dan Nafs sama-sama mempunyai dua makna. Kata qalb bermakna hati dalam bentuk fisik maupun hati dalam bentuk non fisik. hati dalam bentuk fisik adalah bagian tubuh manusia yang sangat penting karena penjadi pusat aliran darah ke seluruh tubuh. darah ini pula yang membawa kehidupan. oleh karena itu nabi saw bersabda:

الآ ان فى الجسد بلغة اذا صلحت صلحت جسد كله واذا فسدت فسدت جسد كله الآ وهى القلب.

”Sesungguhnya dalam diri manusia terdapat segumpal daging. jika gumpalan daging itu bagus maka akan baguslah seluruh anggota tubuh. jika gumpalan daging itu rusak maka akan rusak pula seluruh anggota tubuh. ketahuilah, gumpalan daging itu adalah jantung (Qalb).”

Berdasarkan hadits ini sebenarnya tidak tepat kalau Qalb itu diartikan dengan hati, tetapi yang tepat adalah jantung. Lalu muncul hati yang bisa sedih, suka menangis, atau suka tersinggung. Berikutnya dijelaskan bahwa hati kita inilah yang menentukan keseluruh kepribadian kita. kalau hati kita bersih, akan bersihlah seluruh akhlak kita. Yang ini bukan hati dalam pengertian fisik, akan tetapi hati dalam pengertian ruhani. Oleh karena itu Kata Al-Ghazali, ada makna hati yang kedua: Lathifah rabbaniyah ruhaniyyah. (sesuatu yang lembut yang berasal dari tuhan dan bersifat ruhaniyah), lathifah itulah yang membuat kita mengetahui atau merasakan sesuatu. kata al-Qur’an, hati itu mengetahui merasakan, juga memahami. jadi hati adalah suatu bagian ruhaniyah yang kerjanya memahami sesuatu itulah Qalb.

Menurut para sufi hati juga merupakan bagian dari diri kita yang dapat menyingkap ilmu-ilmu ghaib, ada riwayat yang menyebutkan bahwa kita mempunyai dua pasang mata: yaitu mata lahir dan mata bathin, jadi hati adalah lathifah yang mempunyai mata untuk bisa melihat atau menembus hal-hal yang ghaib. Dengan hati juga kita dapat melihat tuhan, kata imam Al Ghazali, hati itu hati dapat membawa kita kepada ilmu mukasyafah yakni ilmu yang menyingkapkan hal-hal Gha’ib.

Hal itu erat kaitannya dengan ruh. Ruh juga mempunyai dua arti. ada ruh yang berkaitan dengan tubuh yang erat kaitannya dengan jantung ini, yang beredar bersama peredaran darah. Kalau darah sudah tidak beredar lagi dan jantung kita sudah berhenti ruh itupun tidak ada. Itulah ruh dalam bentuk jasmania yang terikat dengan jasad. Selain itu juga ada ruh dalam arti yang kedua yang ajaibnya definisinya sama dengan hati, yaitu lathifah Rubbaniyah Ruhaniyan Wal hasil secara abstrak atau maknawi ruh sama dengan hati. Ruh itulah yang merasakan penderitaan atau kebahagiaan. Orang barat mungkin menyebutnya mind, kita menyebutnya jiwa.

Selanjutnya adalah persoalan hati. Menurut Al-Ghazali yang menjadi perhatian kita bukanlah hati fisik, biarlah itu menjadi urusan dokter saja, yang menjadi urusan kita adalah lathifah rabbaniyah ruhaniyah adalah suatu yang sangat lembut. Tuhan juga disebut dengan Al -latif (yang maha lembut). lahtifah berarti juga lutf yang artinya anugrah. Jadi Al latif berarti dzat yang memberi anugrah.

Berikutnya adalah Akal. Ia juga memiliki dua nama. ada akal sebagai ilmu tentang sesuatu sehingga orang yang berakal adalah orang yang mengetahui ilmu tentang sesuatu, dalam makna ini, akal sama dengan ilmu. selain itu akal juga berarti sesuatu di dalam diri kita menjadi yang menjadi alat untuk memperoleh ilmu. jadi akal bisa disebut sebagai ilmu itu sendiri, dan bisa juga sebagai alat untuk memperoleh ilmu. hal itu berarti sama artinya dengan hati, latifah rubbaniyah ruhaniyah mudrikah alimah arifah. jadi bagian dari kita untuk mengetahui sesuatu disebut akal.

Alhasil ternyata tidak ada perbedaan antara ruh, hati dan akal. ketiganya sama-sama merupakan sesuatu yang merasakan kepedihan atau kebahagiaan yang tidak berkaiatan dengan jasmani. Orang dapat merasakan pedih tampa mengalami gangguan fisik, sedikitpun. tubuhnya normal tetapi mengalami kepedihan yang luar biasa. Dalam penelitian modern disebutkan bahwa yang merasalan sakit di tubuh kita sebetulnya bukan tubuh, akan tetapi ruh. Dalam dunia yang tidak modern juga, orang orang mengetahui bahwa kalau seseorang tidak mempunyai ruh, ia tidak akan merasakan sakit apapun, meski tubuhnya di kerat-kerat. Hal ini membuktikan bahwa yang merasakan sakit bukan tubuh kita, tetapi ruh kita atau qalb atau akal-dalam definisi lathif sesuatu yang merasakan kepedihan atau kebahagiaan yang tidak berkaitan dengan jasmani. Orang bisa merasa sangat pedih tampa mengalami gangguan fisik sedikitpun. Tubuhnya normal tetapi ia mengalami kepedihan yng luar biasa. Dalam penelitian modern disebutkan bahwa yang merasakan adalah lathifah rabbaniyah ruhiyyah.

Orang-orang modern mencoba membuktikan hal ini dengan hipnotis. Misalnya seseorang menghipnotis anda dan menyuruh anda tidur. Kemudian ia memberikan posthypnotic suggestion (sugesti pasca hipnotis) kepada anda, sehingga ketika bangun dari tidur, anda tidak merasakan apa-apa meskipun tubuh anda dikerat-kerat. meskipun anda sadar, anda tidak merasakan sakit sedikitpun, sebab ruh anda sudah diperintahkan untuk tidak merasakan sakit. Jadi yang merasakan sakit itu bukan tubuh kita, tetapi ruh. Yang mendengar, melihat dan merasa sakit adalah ruh. Jika ruhanda tidak mau merasakan, anda pun tidak akan merasakannya, kalau anda dikejar ular, lalu anda lari dengan cepat sehinggga menginjak pecahan-pecahan kaca, anda tidak akan merasakan sakit setelah anda selamat yakni ketika anda sudah tidak memperhatikan ular lagi, barulah ruh anda akan memperhatikan kaki anda. Semula tidak merasa, kini terasa sakit. Sebab, saat itu ruh sedang memperhatikan pecahan-pecahan kaca bukan ular lagi. Kata Imanuel Kant kalau seseorang mendengar jam, yang mendengar itu bukan telinganya. Telinganya hanya alat saja. Yang mendengar adalah ruh. Ketika sepasang manusia sedang berpacaran, detak jam dinding itu tidak terdengar lagi, begitu pacaran selesai dan mereka merenung sendirian, detak jam itu mulai terdengar oleh mereka.

Berikutnya adalah Nafs, di kalangan ulama, nafs itu bermakna dua. Pertama, nafs dalam arti jelek yakni al-hawa yang di dalamn bahasa Indonesia sering digabungkan menjadi satu, yakni hawa nafsu tugas kita adalah membersihkan hati kita dari nafsu. Hati yang bersih dari nafsu oleh Al-Qur’an disebut dengan qalbun salim, tidak akan digangu setan. Kalau kita salat lalu kita datang kepadanya dengan hati yang dipenuhi oleh makanan setan, dzikir yang kita ucapkan tidak akan dapat mengusir setan, setan akan tetap bertengger di sekitar kita. Begitu kita lengah, ia akan masuk dan bersarang di hati kita memakan makanannya, yang di antaranya adalah al-hawa tersebut.

Diceritakan bahwa sesuatu ketika setan datang kepada Ibn Al AHjjaj dan berkata, ia tidak menemukan makananya di dalam diri orang-orang salih. Ia kekurangan makanan karena orang mukmin yang slaih itu menghancurkan hawa nafsunya.

Kedua, nafs yang berarti manusia secara keseluruhan. Hakikat diri kita itu adalah nafs kita, ego atau diri kita. Dalam Al-qur’an, pengertian nafs bermacam-macam. Paling tidak ada tiga: (1) nafs ammarah, (2) nafs lawwamah, dan (3) nafs muthma’innah.

Ammarah berasal dari kata amara. Dalam surat yusuf disebutkan:

“Sesungguhnya nafsu itu menyuruh (ammaratun ) berbuat jelek’ (QS 12: 53)

Ammarah artinya yang memerintahkan yang mendesahkan, atau yang mengajak. Nafsu ini merupakan nafsu dalam tingkatan yang paling rendah, nafsu yang masiih suka menyuruh orang mengikuti hawa nafsunya yang tunduk kepada ghadab dan syahwat serta sifat-sifat kebinatanganya.

Nafsu yang kebih tinggi adalah nafsu lawwamah. Jika seseorang mengetahui dirinya selalu mengikuti nafsunya, lalu ia menyesali dan mengadili dosa-dosanya, itulah yang disebut nafsu lawwamah Allah bersumpah dengan macam pengadilan:

“Aku bersumpah dengan hari kiamat dan aku bersumpah dengan nafsu lawamah”, (QS 75: 1-2).

Kata Murthadha Muttahhari, ada tiga macam pengadilan, berurutan dari yang paling tidak adil hingga yang paling adil. Pengadilan yang paling tidak adil adalah pengadilan di dunia. Mungkin pengadilan di dunia ini merupakan pengadilan yang paling banyak tidak adilnya. Sebab di sini keadilan diukur dengan seberapa kuat atau lemahnya seseorang. Lalu ada pengadilan yang agak adil, yakni pengadilan hati nurani, yang disebut nafsu lawwamah. Diri kita menjadi hakim yang mengadili, yang membuat kita gelisah. Di situ tidak bisa lagi berbohong. Akan tetapi nafsu Lawwamah ini hanya bisa mengecam saja. Ia tidak bisa menjatuhkan hukuman kepada seseorang yang bersangkutan. Oleh karena itu, ada pengadilan yang paling adil, yaitu pengadilan hari kiamat. Di situ orang tidak bisa bersdusta dan tidak bisa menghindar lagi. Di situ juga akan ditetapkan hukuman yang seadil adilnya. Tidak ada satupun orang yang luput dari pengadilan tuhan. Itulah pertama kali Allah bersumpah dengan hari kiamat.

Yang terakhir, yakni diri yang paling tinggi adalah diri sesudah tunduk kepada kehendak Allah, yang sudah meninggakan hawa nafsunya. Diri itulah yang kelak ketika kembali kepada tuhan hanya akan disapa dengan penuh kemesraan:

“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kamu kepada tuhanmu dengan perasaan rela dan direlakan (QS 89: 27-28)

Nafsu muthmainnah adalah orang yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih.

F. Hadist -hadits tentang Hati

Qalb mempunyai dua makna: Qalb dalam bentuk fisik dan qalb dalam bentuk ruh. Dalam arti fisik, Qalb dapat kita terjemahkan sebagai “jantung”. Dalam hubungan inilah Nabi Saw. bersabda, "Di antara tubuh itu ada mudghah, ada suatu daging; yang apabila ia baik, maka baiklah seluruh tubuh dan apabila ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh itu. Ketahuilah mudghah itu adalah qalb.”

Orang sering menerjemahakan qalb disini sebagai “hati”, sehingga mereka berkata, "Kalau hati kita ini bersih maka seluruh tubuh kita bersih.” Padahal sebenarnya yang dimaksud disini adalah hati dalam bentuk jasmani. Karena Nabi Saw. menyebutnya segumpal daging.

Ada seorang penulis Mesir yang menulis sebuah buku tentang kedokteran islam. Dia merujuk hadis ini untuk menunjukan peran jantung dalam seluruh mekanisme tubuh kita. Bagaimana kalau tubuh kita mengalami gangguan? Apakah yang akan segera terjadi pada bagian tubuh yang lain. Dan bagaimana pula kalau jantung kita ini baik, maka apakah yang akan terjadi pada seluruh bagian tubuh ini?

Itulah yang dimaksud oleh Rasululah bahwa di dalam tubuh kita ada segumpal daging yang apabila daging itu baik, maka baiklah seluruh tubuh dan apabila rusak maka rusaklah seluruh tubuh. Dan segumpal daging itu adalah al-qalb, jantung dalam bentuk fisik.

Ada juga qalb dalam arti kekuatan ruhaniah yang mampu melakukan peng-idrak-an. Idrak adalah memahami, mempersepsi dan mencerapi. Misalnya perasaan sedih dan gembira.yang berpikir dan yang merenungkan itu kekuatan batin yang disebut qalb. Dan ini dalam bahasa indonesia disebut hati. Sehingga kalau ada sebutan, "Hatinya hancur,” maka yang dimaksud bukan jantungnya hancur tetapi ada bagian jiwa orang itu yang hancur.

Ketika Nabi mengatakan, ”Ada segumpal daging dalam tubuh,” Nabi juga melambangkan peran hati dalam kesehatan jiwa. Sebagaimana jantung memegang peranan penting dalam kesehatan tubu, maka begitu pula hati. Ia memegang peranan amat penting dalam kesehatan ruhani kita. Kalau hati kita rusak, maka seluruh ruhani kita rusak; dan kalau hati kita baik, seluruh ruhani kita baik.

Banyak hadits nabi yang membicarakan qalb ini. Di antaranya, Rasulullah Saw. mengatakan bahwa “Qalb ini karena sifat berubah-ubahnya bagaikan selembar bulu dipadang pasir yang bergantung pada akar pepohonan kemudian dibolak-balik oleh angin dari atas kebawah “.8

Ketika Rasulullah menggambarkan hati itu seperti selembar bulu yang tergantung di atas pohon yang ditiup angin, beliau mengingatkan kita agar berhati-hati menghadapi perubahan itu. Karena itu, ada do’a yang diajarkan Nabi untuk mengokohkan hati, yaitu “Teguhkanlah hatiku dalam agama-mu”.

Dalam pertanggung jawaban yang berkaitan dengan amal manusia, Allah menghukum bukan hanya amal lahiriyah dalam bentuk perbuatan yang jelek tetapi juga niat yang jelek yang tersembunyi dalam hati. Al-Qur’an mengatakan: Allah mennghukum kamu dengan apa yang dilakukan oleh hati kamu (QS 2:225).

Dalam ayat lain disebutkan

Browser Anda mungkin tidak bisa menampilkan gambar ini.:

"Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui, sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati kamu akan dimintai pertanggungjawaban (QS 17:36)

Jadi, jangan mengira kalau kita punya niat yang jelek itu tidak dimintai pertanggungjawaban. Itu juga dihukum.

"Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah mengetahui segala yang mereka sembunyikan dan segala yang mereka nyatakan". (QS 2:27)

Jadi, termasuk niat yang ada dalam hati pun akan di hitung Allah Swt Oleh karena itu, berhati-hatilah dengan niat itu.

Dalam suatu perjalanan yang panjang dengan udara yang panas, para sahabat kelelahan. Waktu itu Rasulullah mengatakan, “Ada orang yang tinggal di Madinah dan tidak ikut berangkat dengan kita tetapi ia mendapatkan ganjaran seperti ganjaran amal yang sedang kita laksanakan”. Ketika para sahabat bertanya,:”Mengapa?” Rasulullah menjawab, “Karena dia telah berniat pergi bersama kita, tetapi karena uzur yang tidak dapat ditolak, dia tidak bisa berangkat bersama kita, dan Allah membalas mereka semua dengan niatnya.”

Bila ada laki-laki menikah dengan mahar yang tidak dibayar kontan, sedangkan ia berniat dalam hati untuk tidak membayarnya, maka Allah menghitung laki-laki tersebut berzina. Kalau ada orang meminjam uang kemudian dalam hatinya ada niat tidak mau membayar, Allah menghitungnya sebagai pencuri. Dari sini Allah menghukum seseorang berdasarkan niat yang bergetar didalam hati, karena niat itu letaknya di dalam hati.

Marilah kita melihat apa peranan hati didalam ruhani kita menurut beberapa riwayat : Rasulullah Saw. bersabda : “Hati itu bagaikan raja, dan hati itu memiliki bala tentara. Apabila raja itu baik, maka baiklah seluruh bala tentaranya, dan kalau hati itu rusak, maka rusaklah seluruh bala tentaranya”.9

Imam Ja’far Ash-shadiq juga mengatakan, “Sesungguhnya posisi qalb sama seperti pemimpin ditengah-tengah manusia.” Dalam hadits lain disebutkan, “Sesungguhnya Allah punya wadah dibumi dan wadah itu adalah hati. Maka sesungguhnya hati yang dicintai oleh Allah adalah hati yang lembut, yang bersih dan yang kokoh.” Kemudian Nabi melanjutkan, “Yang paling lembut adalah yang lembut terhadap sesama saudaranya, dan yang bersih adalah yang bersih darri dosa-dosa, sedangkan yang kokoh adalah keteguhan seseorang dalam membela agama Allah sedang dia tidak takuk celaan orang yang mencelanya”

Dalam riwayat lain, nabi SAW bersabda, “Allah tidak melihat tubuh tubuh kamu, Allah tidak melihat harta- harta kamu tetapi Allah melihat hati dan amal amal kamu.” Disebutkan dalam hadits yang lain, “Hati ada tiga macam. Pertama, hati yang terbalik, yaitu hati yang tidak bisa menampung kebaikan sedikitpun dan itu adalah hati orang kafir.

Kedua, hati yang di dalamnya ada titik hitam, yang di dalamnya bertarung antara kebaikan dan kejahatan. kalau salah satu kuat, maka yang kuat itulah yang menang.

Ketiga hati yang terbuka yang di dalamnya ada lamppu yang bersinar sinar sampai hari kiamat. itu hati orang mukmin. Kami jadikan baginya cahaya, yang dengan cahaya itu dia berjalan di tengah tengah ummat manusia (QS. 6:122).”

Imam Ali mengatakan: "Hati yang paling baik adalah hati yang paling bisa menyimpan kebaikan.”

1. Perubahan hati

Qolb adalah masdar dari qalaba, artinya membalikan, mengubah, mengganti. Kata kerja intransitif dari qalaba adalah taqallaba, artinya bolak-balik, berganti-ganti, berubah-rubah.”Summiya al-qalb li taqallubih” 'disebut qalb karena berubah-rubahnya.' Imam ja’far Ash-Shadiq menyebutkan hati itu ada empat.

a. Hati yang tinggi

Tingginya hati ini ketika zikir kepada Allah Swt. Kalau orang senantiasa berzikir kepada Allah hatinya akan naik ke tempat yang tinggi.

b. Hati yang terbuka

Hati ini diperoleh apabila kita ridha kepeda Allah Swt. Ketiga, hati yang rendah, terjadi ketika kita disibukkan oleh hal-hal yang selain Allah.

c. Hati yang mati atau hati yang berhenti

Hati ini terjadi ketika seseorang melupakan Allah Swt. sama sekali. Oleh karena itu, untuk menjaga agar hati kita selalu hidup, maka ingatlah kepada Allah Swt. Dalam salah satu hadis dikatakan, "Kalau hati tidak diisi dengan zikir, maka ia bagaikan bangkai.”

Dalam surat Asy-Syu’ara ayat 87-89 dan Ash-shffat ayat 83-84 di sebutkan hati yang selamat, bersih atau suci qalbun salim. Allah berfirman:

Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka di bangkitkan.(yaitu)di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna.Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih (QS26:87-89).

Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongan (Nuh).(ingatlah)ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci (QS 37:83-84).

Nabi pernah ditanya tentang apa yang dimaksud qalbun salim ini, kemudian Nabi menjawab, "Itu keyakinan agama yang tidak dicampuri dengan keragu-raguan hawa nafsu.” Mungkin sulit untuk dapat menggambarkan keyakinan itu.Tetapi,ada penelitian yang pernah saya ceritakan dalam buku Islam Alternatif yaitu penelitian Gordon W. Allport. Seperti Anda ketahui, di situ disebutkan ada dua macam cara beragama yaitu intrinsik dan ektrinsik. Mula-mula Alport mengadakan penelitian tentang hubungan orang yang beragama dengan kesehatan jiwanya. Ada anggapan makin beragama orang itu makin sehat jiwanya.yang. Menurut Alport, harus di tentukan dulu adalah tipe orang beragama itu. Kalau beragama itu diukur dengan beberapa banyak datang ke masjid atau ke gereja, keberagamaan tidak menjamin kesehatan jiwa.

Karena sering sekali orang datang ke gereja, dalam penelitian Alport, bukan karena keyakinan tetapi karena hawa nafsu. Mungkin seseorang datang ke gereja ingin memperoleh pasangan, ingin mendapat pengakuan sosial, atau menjalin relasi bisnis.

Agama seringkali dipakai sebagai tempat pelarian.orang lari kepada agama untuk memperkokoh harga dirinya, ada yang karena frustrasi akibat pergumulan hidup. Ia menemukan satu aliran agama yang menawarkan apa yang di carinya. Itu keberagamaan ektrinsik. Bagaimana beragama yang intrinsik. Rosululloh Saw. Menyebutkannya, “Keyakinan yang di masuki hawa nafsu." Beliau bersabda, "qalb yang selamat adalah keyakinan yang tidak dimasuki keraguan dan hawa nafsu.” Di sini orang yang beramal tanpa berkeinginan untuk pamer dan ingin dipuji.

Allah Swt.berfirman:

"(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram (QS.13:28).

Dalam ayat itu disebutkan bahwa cara memperoleh ketenteraman hati adalah dengan berzikir kepada Allah, tetapi tidak semua zikir itu menenteramkan hati. Karena itu, syarat zikir yang dapat menenteramkan hati adalah zikir orang yang beriman. Orang yang tidak beriman tidak bisa tenteram dengan zikir. Sebaliknya, orang yang beriman tidak akan tenteram hatinya kecuali dengan zikir kepada Allah.

Karena itu, kalau anda beriman jangan mencari ketenteraman pada kekayaan, kemasyhuran, atau hal-hal duniawi lainnya. Tetapi ketenteraman itu hanya di peroleh dengan zikir kepada Allah.

Ketenteraman ada kaitannya dengan keimanan seperti dijelaskan dalam surat Al-Fath ayat 4:

"Dialah yang telah menurunkan ketenteraman ke dalam hati orang-orang Mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada)...(QS. 48:4).

Allah menurunkan ketenteraman kepada hati orang yang beriman. Ketenteraman hati itu tampak dari gejala fisik mereka. Ada orang yang bertingkahlaku qurani dan ada pula manusia yang bertingkah laku syaithani. Orang yang tenteram menunjukan perilaku qurani.

Di Iran sesudah revolusi, ada banyak ulama yang mati ketika menyampaikan khutbah. Orang yang mati itu dinamakan syahid mimbar. Pada suatu waktu ketika khatib menyampaikan khutbah di sekitar mimbar meledak sebuah bom. Beberapa orang terpental. Kebetulan khutbah itu direkam dalam televisi, sehingga dapat disaksikan ulang. Termasuk tingkah laku khatib. Anehnya, khatib itu tenang saja, tidak memiliki rasa takut sedikitpun, seperti terlihat dari raut wajahnya. Beliau hanya memalingkan mukanya sedikit untuk menghindari seburan debu dari arah ledakan tadi. Setelah selesai ledakan, khatib melanjutkan khutbah lagi. Inilah contoh tingkah laku yang qurani, yang tumbuh dari zikir kepada Allah.

Ada tingkah laku lain. Segera setelah imam Khomaeni meninggal dunia, Salman Rusdie ditanyai oleh seorang wartawan surat kabar, "Apakah rasa takut anda tenang hukuman mati dari khomaeni ini dilebih-lebihkan orang? "Dia menjawab, ”ya.” Artinya,ungkapan Salman Rushdie itu dilebih-lebihkan orang. Ia sebetulnya tidak takut sama sekali. Tetapi begitu Salman Rushdie mengucapkan jawaban, ”ya,” di luar Gedung ada sebuah mobil naik ke trotoar dan kebetulan knalpotnya meledakkan letupan seperti tembakan.Waktu itu tubuh Salman Rushdie menggetar ketakutan. Wartawan yang menyaksikan itu mengatakan, "Ini menunjukan seluruh kehidupan Salman rushdie dipenuhi oleh rasa takut yang berkepanjangan.”

Saya menceritakan dua peristiwa ini untuk menunjukan tentang adanya dua macam tingkah laku itu. Yaitu tingkah laku yang dipenuhi oleh zikir kepada Allah dan tingkah laku yang di penuhi dengan rasa was-was.

Contoh lain, Abul A’la A-Maududi berkhutbah. Pada waktu khutbah ada sebuah tembakan diarahkan ke wajahnya. Semua jamaah tiarap menghindar dari tembakan itu, tetapi Maududi tetap di mimbar. Orang menyuruh beliau bertiarap tetapi Maududi menjawab, "Kalau aku ikut turun, siapa lagi yang akan berkhutbah di sini.”

Hati itu adalah ibarat bejana, selama bejana itu dipenuhi dengan air, maka udara tidak akan bisa masuk. begitu juga hati yang disibiukan dengan hal-hal selain Allah, maka tidak akan dapat masuk kedalam hati tersebut perasaan ma’rifat akan keagungan Allah ta’la. maka untuk menyibukan hati tersebut kita perlu memenejnya dengan penuh ketelitian sehingga sesuatu yang datang dari luar yang sifatnya akan menghancurkan hati kita akan tertolak dengan sendirinya.

Apabila syeitan-syeitan itu tidak mengerubungi hati anak adam, niscaya mereka memandang ke alam malakut yang ada di langit.

2. Manajemen Qalbu

Manajemen Qalbu berarti memenej Qalbu yang merupakan tempat bersemayamnya niat, yakni menentukan apakah perbuatan seseorang berharga atau sia-sia, mulia atau nista. Niat itu selamanya diproses oleh akal pikiran agar bisa direalisasikan dengan efektif dan efisien oleh jasad kita dalam bentuk perbuatan. Setiap keinginan, perasaan atau dorongan apapun yang keluar dari dalam diri akan terasing niatnya hingga melahirkan suatu kebaikan dan kemuliaan serta penuh manfaat, dan dapat merespon segala bentuk aksi, apakah itu perbuatan baik atau buruk secara proporsional.10

Respon yang terkelola dengan sangat baik akan membuat reaksi yang dikeluarkan adalah kemuliaan dan kemanfaatan. Dengan kata lain, aktivitas lahir dan pikirannya telah tersaing sedemikian rupa oleh proses manajemen Qalbu. Maka yang muncul hanyalah sikap yang pemuh kemuliaan dengan pertimbangan nurani yang tulus. Intinya orang yang mengamalkan manjemen Qalbu adalah orang yang sangat peka dalam mengelola sekecil apapun potensi ataupun kehadiran menjadi sesuatu yang bernilai kemulian dan manfaat yang tinggi bagi dirinya maupun makhluk lainnya.

Pelatihan manajemen Qalbu merupakan pelatihan yang menanamkan sebuah paradigma baru dalam mengarungi kehidupan, yaitu dengan upaya memenej potensi qalbu, di mana peserta akan lebih memahami dan menghayati arti pentingnya nilai-nilai yang hakiki yang perlu dipegang dan diamalkan dalam kehidupana sehari-hari di rumah, pekerjaan maupun dalam lingkungan masyarakat. Dan menjadi orang yang sangat peka dalam mengelola sekecil apapun potensi atau kejadian-kejadian menjadi sesuatu yang bernilai kemuliaan dan manfaat yang tinggi bagi dirinya maupun makhluk lainnya.
 Wallahu a'lam......

Sabtu, 18 Juni 2011

Faham Al'Hallaj (Mistik Sufisme)


Faham Al’Hallaj (Sufistik)
By. Abu Bakar Elfayeed

BAB I
PENDAHULUAN


Mistikisme Islam bermula dari berbagai aspirasi spiritual dan praktek keagamaan Nabi Muhammad SAW, para sahabatnya, dan para tokoh sesudahnya. Ketika kalangan elit arab sibuk dalam penaklukan dan pengaturan kekuasaan politik, sebagian muslim lainnya berusaha mempertanyakan makna kehidupan duniawi. Mereka mendiskusikan sejumlah permasalahan makna kehidupan, sebagai jalan menuju keridaan Tuhan. Beberapa diantara mereka memilih perilaku kesalehan yang mementingkan kegiatan penghafalan Alquran, mencurahkan diri pada hadis-hadis Nabi dan hokum,  dan pemenuhan ajaran-ajaran hadis tersebut dala kehidupan sehari-hari. Beberapa diantaranya memilih hidup zuhud. Mereka menegaskan ketidaktertarikannya pada hal-hal duniawi dan mementingkan ketekunan beragama, itulah para sufi. Merkea bertahan dalam kemiskinan dan mengasingkan diri serta menghindarkan diri dari hal-hal yang berbau dosa.
            Apabila berdampingan dengan kalangan ulama hadis, hukum, dan teologi, kalangan sufi itu membawa bentuk lain dalam penunaian agama. Kalanganan fuqaha dan teologi berkonsentrasi pada perumusan aturan-aturan yang diperintahkan Tuhan untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan mencari pemahaman rasional terhadap keyakinan mereka , sedangkan kalangan sufi berusaha mencari kedekatan (qurb) dan pengalaman individual. Dalam hal ini, penulis mencoba menerangkan paham yang berhubungan dengan keintiman manusia dengan Tuhan, dalam penyatuan itulah disebut al-hulul dengan tokoh paham ini dibawak an oleh Al-hallaj. Inilah yang akan penulis coba paparkan dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN


A. BIOGRAFI SINGKAT AL-HALLAJ
            Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Al-Mughits Al-Husain ibn Mansyur ibn Muhammad Al-Baidhawi. Ia dilahirkan sekitar tahun 244 H/858 M di daerah Thur, dekat Baidha, salah satu kota kecil dari wilayah Persia. Ia dibesarkan di kota Wasith dekat Baghdad. Ia merupakan cucu dari seorang majusi penyembah api, atau dari silsilah Abi Ya’qub. Sekitar usia enam belas tahun, dia belajar guru sufi, seperti: Abdullah At-Tustury di Ahwaz, Amr Al-Maki (sufi basrah), Al-Junaid (di Baghdad). Kemudian dia mengajak orang lain untuk hidup zuhud dan bertasawwuf. Ia digelari Al-Hallaj karena penghidupannya yang dia peroleh dari memintal wol. Ucapan-ucapan Al-Hallaj “ana al-haq” dianggap sebagai ucapan kemudaratan atau kesesatan yang dijadikan alasan untuk menangkapnya dan memenjarakannya. Pada tanggal 24 Dzulqa’dah 309 H/24 Maret 922 M, ia dibunuh dengan cara di salib  setelah disiksa sedemikan rupa. Ia digantung, namun sebelum digantung ia dicambuk seribu kali, lalu dipenggal kepalanya.[1]
            Al-Hallaj adalah tokoh yang paling kontroversial didalam sejarah mistimisme Islam. Al-Hallaj sangat sering melakukan pengembaraan, mula-mula keTustar dan Bagdad, kemudian ke Mekkah, dan sesudah itu ke Khiziztan, khurasan, sampai ke India dan Turkistan. Terakhir sekali ia kembali ke kota Baghdad, tetapi karena khotbah-khotbahnya yang berani mengenai bersatunya manusia dengan Tuhan ia akhirnya dipenjarakan. Didalam legenda muslim, al-Hallaj tampil sebagai seorang pencinta dan tergila-gila kepada Allah.

B. PENGEMBARAAN AL-HALLAJ
            Husain Al-Mansyur yang dijuluki al-Hallaj (pemintal bulu domba) mula-mula pergi ke Tustar dan ia mengabdi kepada Sahl bin Abdullah selama dua tahun. Setelah itu ia pindah ke Baghdad. Ia memulai pengembaraannya ketika ia berusia sekitar 18 tahun. Setelah itu ia pergi ke Basrah dan mengikuti Amr bin Utsman selama delapan belas bulan. Ya’qub menikahkan putrinya dengan al-Hallaj, dan setelah pernikahan itulah Amr bin Utsman tidak senang kepadanya. Maka Hallaj meninggalkan kota Basrah dan pergi ke Baghdad mengunjungi Junaid (seorang sufi terkenal). Junaid menyuruh Hallaj berdiam diri dan menyendiri. Setelah beberapa lama menjadi murid Junaid ia pergi ke Hijaz. Dia tinggal di kota Mekkah selama setahun,kemudian kembali ke Baghdad.[2]
            Sewaktu al-Hallaj tiba di Baghdad, para cerdik pandai yang terkemuka mengambil kesepakatan   bahwa al-Hallaj harus dihukum,Junaid sedan mengenakan jubah sufi dank arena itu ia tidak mau memberi tanda tangannya. Khlifah menyatakan bahwa mereka perlu mendapatkan tanda tangan Junaid. Maka pergilah Junaid untuk mengenakan sorban dan jubah kaum ilmuan. Kemudian ia kembali ke Madrasah dan menanda tangani keputusan itu. Junaid menuliskan, “ Kami memutuskan sesuai dengan hal-hal yang terlihat. Mengenai kebenaran yang terbenam di dalam kalbu, hanya Allah yang maha Tahu”.
             Ketika banyak pertanyaan al-Hallaj yang tidak mau di jawab Junaid, ia menjadi jengkel dan pergi menuju Taustar tanpa pamit. Disini ia tinggal selama setahun dan mendapat sambutan luas, karena al-Hallaj kurang acuh terhadap doktrin yang populer pada masa itu. Para theology sangat benci kepadanya. Sementara Amr bin Utsman menyurati orang-orang dan memburuk-burukkan namanya.
Kemudian Hallaj kembali ke Ahwaz, khotbah-khotbahnya disambut baik oleh kalangan atas maupun rakyat banyak. Di dalam khotbah-kotbahnya, ia mengajarkan rahasia-rahasia manusia sehingga ia dijuluki sebagai Hallaj yang mengetahui rahasia-rahasia. [3]
C. AJARAN AL-HALAJ TENTANG AL-HULUL 
1. Pengertian Hulul                                                    
            Secara Bahasa, Hulul berasal dari kata “halla-yahullu-hululan”, yang berarti menempati. Al-Hulul dapat berarti menempati suatu tempat. Jadi, al-Hulul dapat diartikan “Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yang telah lenyap sifat kemanusiaannya melalui fana” . menurut istilah Hulul berarti faham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia tertentu untuk mengembil tempat didalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.[4]
Pengertian al-hulul secara singkat ialah, Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat membersihkan dirinya dari sifat    kemanusiaannya melalui fana. Manusia mempunyai sifat dasar yang ganda, yaitu safat ke-Tuhan-an atau lahut dan sifat kemanusiaan atau nasut. Demikian juga halnya Tuhan memiliki sifat ganda, yaitu sifat-sifat ilahiyat atau lahut dan sifat-sifat insaniyah atau nasut. Apabila seseorang telah dapat menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya dan mengembangkan sifat-sifat ilahiyatnya melalui fana, maka Tuhan akan mengambil tempat dalam dirinya dan terjadilah kesatuan manusia dengan Tuhan dan inilah yang dimaksud dengan hulul.[5]

2. Konsep Ajaran al-Hulul
            a. tentang Teori Lahut dan Nasut
            Teori lahut dan nasut ini, berangkat dari pemahamannya tentang proses kejadian manusia. Al-Hallaj berpendapat, bahwa Adam sebagai manusia pertama diciptakan Tuhan sebagai copy dari diri-Nya (shurah min nafsi) dengan segenap sifat dan kebesarannya., sebagaimana ia ungkapkan dalam syairnya :


            Maha suci dzat yang menampakkan nasut-Nya,
            Seiring cemerlang bersama lahut-Nya,
            Demikian padu makhluk-Nya pun terlihat nyata,
            Seperti manusia yang makan dan minum layaknya.
            Konsepsi lahut dan nasut ini didasarkan al-Hallaj pada firman Allah dalam Surah Al-Baqarah : 34, [6] yang artinya: dan ingatlah ketika kami berfirman kepada para malaikat, “sujudlah kamu kepada Adam!” maka merekapun sujud kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri. Dan ia termasuk golongan yang kafir.[7]
Menurut pemahamannya adanya perintah Allah agar malaikat sujud kepada Adam itu adalah karena Alah telah menjelma dalam diri Adam sehingga ia harus disembah sebagaimana menyembah Allah. Bagaimana gambaran hulul itu, dapat dipahami dari ungkapan al-hallaj berikut ini;








Berbaur sudah sukma-Mu dalam rohku jadi Satu,
Bagai anggur dan air bening berpadu,
Bila engkau tersentuh, terusik pula aku,
Karena ketika itu, kau dalam segala hal adalah aku.
Aku yang kurindu, dan yang kurindu aku jua,
Kami dua jiwa padu jadi satu raga,
Bila kau lihat aku, tampak jua Dia dalam pandanganmu,
Jika kau lihat Dia, kami dalam penlihatanmu tampak nyata.[8]
            Dari ungkapan diatas, terlihat bahwa wujud manusia tetap ada dan sama sekali tidak hancur atau sirna. Dengan demikian, nampaknya paham hulul ini bersifat figuratif, bukan riil karena berlangsung dalam kesadaran psikis dalamkondisi fana dalam iradat Allah. Manusia diciptakan Tuhan sesuai dengan citraNya. Maka makna perpaduan itu adalah munculnya citra Tuhan kedalam citraNya yang ada pada diri manusia, bukan hubungn manusia dengan Tuhan secara riil. Oleh karena itu, ucapan ana al-haqq  yang  meluncur dari lidah al-hallaj, bukanlah ia dimaksudkan sebagai pernyataan bahwa dirinya adalah Tuhan. Sebab, yang mengucapkan kalimat itu pada hakikatnya adalah Tuhan juga tetapi melalui lidah al-hallaj. Selanjutnya al-Hallaj lebih memperjelas dengan syairnya;
           

Aku adalah rahasia yang maha benar, aku bukanlah yang Maha Benar,
            Aku hanyalah yang benar,bedakanlah antara Kami.
Lagipula, adalah sangat tidak logis apabila seorang sufi yang sepanjang usianya merindukan dan mencari Tuhan, mengaku dirinya sebagai Tuhan.[9]  
            Menurut analisis penulis, bahwa syair diatas menggambarkan kepada kita bahwa manusia itu terdiri dari dua elemen (unsur), yang keduanya tidak dapat dipisahkan antara keduanya. Ini sebuah realitas, bahwa jika kedua unsur itu berpisah maka tidak akan sempurna diri sebagai manusia yang hidup. Itulah lahir dan batin pada kita. Rahasia yang dimaksud al-hallaj dalam syair diatas adalah batin yang ada pada manusia. Wallahu ‘a’lam.
            Menurut pemahaman ini, Agama ulama fikih adalah agama lahir, sedangkan agama mereka adalah agama Batin. Mereka (pengikut aliran al-hallaj) mengklaim bahwa makrifat dan hikmah Ilahiyah lebih tinggi daripada ilmu para ulama. Alasannya, tidak ada ilmu yang menandingi tafakkur, dan orang yang sudah mendalam ilmunya dan sangat dekat kepada Tuhan, maka dia akan dapat melihat dengan benar.[10]
            Pada keterangan yang lain dijelaskan lebih jauh, antara manusia dan Tuhan terdapat jarak sehingga masing-masing mempunyai hakikat sendiri-sendiri. Akan tetapi, antara dua hakikat itu terdapat kesamaan. Dengan demikian, bila kesamaan itu semakin mendekat, kaburlah garis pemisah antara keduanya. Ketika itu terjadilah “persatuan” (hulul) antara Al-haqq dan manusia.[11]
            Pemahaman Al-Hallaj tentang kebersatuan manusia dengan Tuhan yang kemudian mengkristal dalam Al-Hulul. Ketika seorang sufi merasakan dirinya bersatu dengan Tuhan, maka dia merasakan sudah berada pada suatu tingkatan saat yang mencintai dan dicintai telah menjadi satu.[12]
Apabila seseorang bersih batinnya dan senantiasa hidup dalam kehidupan batiniyah maka semulanya ia Muslim, lalu Mukmin, lalu Saleh, lalu Muqarrab kepada Allah, setelah muqarrab, sekali-kali orang itu akan sampai kepada Al-hulul, yaitu bersatunya Khaliq dengan Makhluk, menjelmalah Tuhan kedalam dirinya. Keadaan ini samalah seperti kita melihat besi disepuh api sehingga berwarna merah. Maka manakah besi dan manakah api? Dikala itu maka kita tidak dapat membedakannya.[13]

            b. Antara Hulul dan Nur Muhammad
            mengenai konsep nur Muhammad, Al-Hallaj mengemukakan bahwa segala bentuk nur atau cahaya kenabian berasal dari cahaya Muhammad. Akan tetapi, dia Temukan pada Isa bukan pada Muhammad – suatu contoh ideal bagi orang yang sangat dekat dengan maqam Tuhan sehingga roh Allah menyatu mengambil tempat pada dirinya(Isa). Pendapat ini menegaskan bahwa pada diri Isa terdapat dua Roh. Pertama, roh Tuhan yang kekal yang tidak mengalami binasa dan perubahan. Kedua, roh manusia yang baharu, yang berlaku padanya hukum-hukum alam dan kerusakan. Al-Hallaj berpendapat bahwa Isa sebagai khalifah ialah yang pernah menyaksikan wujud-Nya atau keberadaan-Nya.[14]
            Al-Hallaj berpendapat bahwa cinta dan kasih sayang Allah terhadap hambaNya berada diatas segala sesuatu, dan dasar cinta adalah pengorbanan. Oleh karena itu, para wali Allah harus menghadapkan dirinya kepada Allah semata dalam bentuk penghambaan yang utuh dan mematuh perintah-Nya meskipun memberatkan bagi mereka.[15]
Ketika Al-Hallaj mengatakan, “saya Tuhan, (ana al-Haqq)” , sebenarnya yang berbicara adalah Tuhan (roh Tuhan) yang bersatu dengan (roh) Al-Hallaj. Asumsi ini diperkuat oleh paham ideologisnya, bahwa “unsur ketuhanan dapat bersatu dengan roh seorang zahid”. Dan zahid sufi ini menjadi bukti adanya zat yang maha hidup (Allah).[16]             
Menurut kesimpulan dari bahasan tentang nur Muhammad ini, maka dapat di klasifikasikan sebagai berikut:
            -Muhammad awwal dalam hal kejadian maka berposisi sebagai Nur
            -Muhammad akhir berposisi sebagai sosok dalam kenabian.[17]
3. Akhir Perjalanan Seorang Al-Hallaj
            Saat ajaran al-Hallaj semakin merasahkan, maka perjalanan berikutnya tokoh hulul ini ditangkap dan dipenjara. Ketika al-Hallaj dijebloskan kedalam penjara, kisah berikutnya adalah saat al-Hallaj berdialog dengan penghuni penjara yang berjumlah 300 orang yang menghuni dan dikurung ditempat itu. Suatu malam, Hallaj berkata kepada mereka:
“Maukah kalian jika aku membebaskan kalian?”
“mengapa engkau tidak membebaskan dirimu sendiri?” jawab mereka.
“Aku adalah tawanan Allah, jika kukehendaki, dengan sebuah gerak isyarat saja maka semua belenggu yang mengikat kalian dapat kuputuskan”. Kata Hallaj.
Kemudian Hallaj membuat gerakan dengna jarinya dan putuslah semua belenggu mereka.
Para tawanan bertanya lagi, “kemana kami harus pergi, pintu penjara masih terkunci”.   
Kembali Hallaj membuat gerakan dan seketika itu juga terlihatlah celah ditembok penjara.
“sekarang pergilah kalian!” kata Hallaj.
“apakah engkau tidak pergi bersama kami?” mereka bertanya.
“Tidak, jawab Hallaj. “aku mempunyai rahasia dengan Dia, yang tidak dapat disampaikan kecuali ditiang gantungan”.
Esok harinya, penjaga bertanya kepada Hallaj,
“kemanakah semua tahanan disini?”
“aku telah membebaskan mereka” jawab Hallaj.
“engkau sendiri, mengapa tidak meninggalkan tempat ini?” Tanya penjaga.
“dengan berbuat demikian, Allah akan mencela diriku. Oleh karena itu aku tidak melarikan diri dan bertanggung jawab atas perbuatanku”
Kejadian ini disampaikan kepada khalifah. Khalifah berseru, “pasti akan timbul kerusuhan. Bunuhlah Hallaj atau pukulilah dia dengan kayu sehingga ia menarik semua apa yang telah diucapkannya”.
Akihrnya, tibalah saat-saat Hallaj yang diperhadapkan dengan tiang gantungan yang kemudian menjadi akhir hidup seorang Hallaj.
Digiringlah ia ke panggung tiang gantungan. Dengan menyeret tiga belas rantai yang membelenggu dirinya. Hallaj berjalan sambil mengacung-acungkan kedua tangannya.
“mengapa engkau melangkah sedemikian angkuhnya? Bagaimanakah perasaanmu saat ini?” mereka bertanya.
“kenaikan bagi manusia-manusia sejati adalah dipuncak tiang gantungan” jawab alHallaj. Ketika itu Hallaj mengenakan sebuah celana dan sebuah mantel. Ia menghadap kearah kota Mekkah, mengangkat kedua tangannya dan berdoa kepada Allah.
“Yang diketahui-Nya tidak diketahui oleh siapapun juga” lalu naik keatas gantungan.
Sekelompok murid-muridnya bertanya: “apakah yang dapat engkau katakan mengenai murid-muridmu ini dan orang-orang yang mengutukmu dan hendak merajammu ini?”
 “Mereka memperoleh dua ganjaran tetapi kalian hanya sebuah” jawab Hallaj.
Syibli datang dan berdiri didepan Hallaj.
“apakah sufisme itu?”
“bagian yang terendah dari sufisme adalah hal yang dapat kau saksikan ini” jawab Hallaj.
“dan bagian yang lebih tinggi?” Tanya syibli.
“bagian itu takkan terjangkau olehmu” jawab Hallaj.
Kemudian semua penonton elempari Hallaj dengan batu. Agar sesuai dengan orang ramai, Syibli melontarkan sekepal tanah dan Hallaj mengeluh.
“Engkau tidak mengeluh ketika tubuhmu dilempari batu”, orang-orang bertanya kepadanya,  “tetapi mengeluh kerena sekepal tanah?”
“karena orang-orang yang merajamku dengan batu tidak menyadari perbuatan mereka. Dan mereka dapat dimaafkan. Tetapi tanah yang dilemparkan ke tubuhku itu sungguh menyakitkan karena ia tahu bahwa seharusnyaia tidak melakukan hal itu”.[18]
Ada dua alasan mengenai jawaban Hallaj ketika mendapat lemparan tanah. Syibli adalah termasuk orang yang meyakini ajaran yang disampaikan Hallaj bahkan dia termasuk tokoh sufi. Setidaknya jawaban iu ditujukan kepada Syibli sebagai sindiran Hallaj kepadanya. Dan alasan kedua adalah bahwa tanah juga mempunya hakikat hayat, sama-sama mempunyai roh. Yang dilempar dan yang melempar adalah hakikatnya satu, ini ketika ilmu hakikat sudah dipahami.
Selanjutnya, hukuman al-Hallaj berlanjut. Kaki dan Tangan Hallaj dipotong namun dia tertawa. Darah yang keluar dari tangannya yang bunting disapukan kewajahnya. Orang-orang bertanya, “mengapa engkau berbuat demikian?”
“telah banyak darahku yang keluar dan tertumpah, aku menyadari bahwa wajahku saat ini telah berubah pucat dan takut kalian menyangka bahwa kepucatan itu karena aku takut. Maka kusapukan kemukaku. Pupur seorang pahlawan adalah darah mereka sendiri”.
Singkatnya, ketika setiap bagian tubuh Hallaj dipotong mulai dari hidung, telinga sampai biji mata hallaj dikeluarkan, dan terakhir lidahnya. yang terdengar adalah “ suara “ana alhaqq”.
Kata-kata yang di ucapkan Hallaj adalah: “cinta kepada Yang Esa adalah melebur kedalam yang Esa”. Setelah itu maka dipenggallah kepala Hallaj. Dalam keadaan tersenyum iapun mati.[19]
Karena kawatir menjadi fitnah yang lebih besar (karena selalu terdengar kata-kata “ana al-HAqq “ dari setiap potongan tubuhnya) maka mayat dibakar keesokan harinya.     Dari abu pembakaran mayat Al-Hallaj, saat itu juga dibuang ke sungai Tigris, ketika abunya mengembang di permukaan air dari abu-abu itu terdengar lagi ucapan “akulah yang Haq”. Ketika ia masih hidup, Hallaj pernah berkata:
“Apabila mereka membuang abu pembakaran mayatku kesungai Tigris, kota Baghdad akan terancam air bah. Taruhlah jubahku di tepi sungai agar Baghdad tidak binasa”. Seorang hambanya, setelah menyaksikan betapa air sungai mulai menggelora, segera mengambil jubah tuannya dan menaruh jubah itu dipnggir sungai Tigris. Ais sungai mereda kembali dan abu-abu itu tida bersuara lagi, kemudian orang-orang mengumpulkan kembali abu-abu itu dan menguburkannya.[20] 
Apa yang bisa kita petik sebagai pelajaran dari akhir perjalanan Hallaj? Adalah Hallaj betapapun mendapat cercaan dan siksa fisik, namun konsep hulul telah benar-benar mengakar didalam keyakinan dan dada Al-Hallaj.





BAB III
KESIMPULAN


-          Al-Hallaj dikenal sebagai tokoh Hulul
-          Hulul berarti menempati suatu tempat yakni didalam diri manusia
-          Hallaj berpendapat bahwa Tuhan dan hambanya bersatu dalam diri yang hakiki
-          Manusia perlu menghargai dirinya karena dia adalah satu tempat dengan Tuhan dalam arti yang dalam (hakikat) seperti digambarkan ketika semua bersujud kepada nabi Adam.
-          Nur Muhammad dan Hulul sangat berhubungan erat.


           











DAPTAR PUSTAKA

Solihin, Muhammad, Tasawuf Tematik (Membedah tema-tema tentang Tasawuf), Perpustakaan Setia, 2003
            Siregar, Rivay, Tasawuf; dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, Edisi Revisi, Rajawali Pers, 2002
            Al-Attar, Fariruddin, Arberry,A.J, Warisan Para Auliya, Penerbit Pustaka, Bandung, 2004
            Umari, Barmawi, Sistimatik Tasawuf, Penerbit, Mitra Pecinta Buku, Ramadhani, Solo, 1999
A.                sell, Michael, Sufisme Klasik;memenuhi tradisi Sufi, Penebit: Mimbar Pustaka, 2000
Ahamad, Amin, Husayn, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, Penerbit; P.T Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001
Departemen, Agama, Al-Quran dan Terjemah, dicetak; CV, Naladana,2004













[1]Dr.M.Solihin,M.Ag, Tasawuf Tematik, membedah tema-tema penting Tasawuf, Pustaka Setia, hal. 74-75
[2]Fariruddin, A.J.Arberry, Warisan para Auliya, Pustaka; Bandung, hal.336
[3] Ibid h. 337-338
[4] Solihin, op.cit.hal 74-75
[5] Prof.H.A.Rivay Siregar, Tasawuf; dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme, Rajawali Pers, hal.156
[6] Rivay Siregar, op.cit. hal.156
[7] Departemen Agama;Al-Quran dan terjemahan, cetakan cv.Naladana, hal.7
[8]Rivay Siregar, opcit. Hal. 157-158
[9] Ibid h.158
[10]Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh; dalam sejarah islam, Penerbit:PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, hal. 114
[11]Solihin.op.cit hal. 75
[12]Ibid hal.75
[13]Drs.Barmawi Umari, Sistimatik tasawuf, penerbit;mitra pecinta buku, Ramadani, solo, hal.138
[14]ibid
[15]ibid
[16]Ibid hal. 83
[17]Barmawi umari opcit. Hal. 138
[18] Fariruddin, opcit. Hal.342
[19] ibid
[20] Ibid. hal 344